Cinta nan Lara

286 46 103
                                    

"Hargai waktu bersamanya sebesar dalamnya kenangan yang akan terpatri di hati setelah ia tak lagi mengisi hari."

.......................................................

Namaku Sabrina Sanberg, umurku 17 tahun dan aku adalah seorang putri dari kerajaan Avolire. Sebuah kerajaan besar yang subur dan kaya. Ayahku, raja Lawrence Sanberg adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Di bawah pemerintahannya, kerajaan maju dengan pesat dan wilayahnya pun semakin luas.

Sebagai seorang putri, aku tinggal di sebuah istana yang mewah. Kamarku saja berukuran 8x12 meter. Cukup luas untuk memuat kasur lengkap dengan tiang kelambunya, lemari pakaian, meja kursi berhiaskan ukiran kayu dan tentunya sebuah cermin besar kesukaanku. Benda itulah yang selalu kupakai untuk mematut diri sebelum berpergian. Aku pantas bersyukur dengan semua yang kumiliki ini karena pada masa itu, tak banyak orang yang bisa mendapatkan kemewahan sepertiku.

Pagi itu, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, aku sedang duduk di depan cermin sementara seorang pelayan menyisir rambut panjangku yang berwarna hitam kecoklatan. Ia pun menanyakan model rambut seperti apa yang kuinginkan.

"Hmm... French braid saja," jawabku. Itu memang model kesukaanku. Apalagi, hari ini ayahku bilang bahwa seorang putra bangsawan dari timur akan datang untuk melamarku. Pada masa itu, pernikahan memang lebih sering terjadi karena perjodohan.

Mendengar jawabku, sang pelayan pun langsung bekerja menata rambutku. Namanya Adeline, ia sudah lama mengabdi untuk keluargaku—bersama suami dan anaknya. Mereka semua adalah pelayan yang setia.

Tok... tok... Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamarku diketuk. Adeline pun meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk membukakan pintu.

Seorang pemuda sebayaku yang bertubuh agak gemuk tampak berdiri di balik pintu sambil membawa nampan berisi segelas susu dan sepotong roti. Namanya Robin, putra Adeline yang bertugas mengantarkan makanan dan minuman dari dapur menuju ke kamarku.

"Letakkan saja di meja," kataku pada Robin tanpa menoleh. Melalui pantulan di cermin, aku tahu bahwa ia sempat menatapku sepersekian detik sebelum menunduk malu.

"Baik nona," jawab Robin patuh. Ia pun meletakkan sarapanku di meja lalu segera undur diri. Sebenarnya kami sudah saling mengenal sejak kecil. Aku pun merasa cukup nyaman berteman dengannya karena perangainya yang baik dan sopan. Hanya saja, takdirnya amat berbeda denganku karena terlahir dari keluarga pelayan miskin.

Meski hidupku berkelimpahan secara materi, namun terkadang, tinggal di istana bisa jadi sangat membosankan. Ketika anak-anak lain bebas bermain ke manapun mereka suka, aku tak boleh seenaknya pergi keluar dari istana. "Di luar sana berbahaya." Begitulah ibuku selalu berpesan. Hanya Robin yang sering menemaniku ketika aku sedang bosan.

Suatu ketika, aku pernah meminta Robin menemaniku menyelinap pergi keluar dari istana. Ia sebenarnya tidak mau karena takut akan dihukum, namun aku memaksa. Aku benar-benar sedang bosan saat itu. Aku ingin tahu seperti apa dunia luar yang selalu mereka anggap berbahaya.

Setelah berulang kali membujuk Robin, akhirnya dia bersedia mengajakku pergi dengan syarat kami harus pulang sebelum gelap. Saat itu kedua orangtuaku sedang pergi keluar kota untuk sebuah urusan kerajaan.

Hari itu aku pergi pagi-pagi sekali. Bertahun-tahun tinggal di istana membuatku hapal betul mana lokasi yang penjagaannya tidak begitu ketat. Dengan mudah, aku berhasil menyelinap keluar dari istana dan pergi ke sisi barat kota—sesuai perjanjianku dengan Robin kemarin.

Coretan Gado-GadoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang