Prolog

25 4 0
                                    

Ia tetap menyusuri jalan yang diyakini dengan kerapuhan yang dimilikinya. Hutan belantara ini sudah memendamnya terlalu lama.

Alam menyediakan semua yang dibutuhkannya namun tidak dengan pakaian ataupun peralatan merias penampilan—dua hal yang lebih diperlukannya. Lebam yang memudar, darah dari kepala yang mengering, tali yang semula mengikat untuk memenjarakan tubuhnya dengan sejenis tampungan yang konyol—gerobak pasir--, lalu berbagai pertahanan diri yang dibuatnya ketika berjumpa dengan hewan berbahaya dan menggelikan.

Sebentar lagi, ia akan menghampiri langit yang bersih dari rumpun dedaunan yang terbiasa memayunginya.

Kisah dari kesalahan dalam kehidupan yang membuatnya diasingkan agar tidak membahayakan siapapun. Dua orang pemuda dan seorang perempuan menggiringnya setelah berhasil mengalahkannya. Tidak ada yang buruk setelahnya, hanya menyingkirkan. Lalu ia berusaha keras untuk menghafal jalan pulang.

Mencari jalan baru, tentu saja. Pepohonan selalu tampak sama satu dengan yang lainnya. Ia tetap setia pada arah yang sama, meski tungkai kakinya sudah tidak berminat lagi pada perjalanan panjang ini.

Perutnya tidak terisi oleh bahan bakar yang terbiasa dicurinya jika tidak ada monyet liar yang menjaga wilayah tersebut. Ia mempertahankan instingnya untuk menapaki jalanan ini, seperti saat ini, karena keluar dari tempat ini menjadi kebahagiaan terbesarnya untuk sekarang ini.

Harapan itu mulai bersinar, pepohonan di sekelilingnya menjadi jumlah minimal. Ia merasa senyuman yang terpatri di wajahnya agak sulit untuk dilakukan meski ia benar-benar meledak karena kebahagiaan ini.

Hutan tidak mengulumnya lagi.

Lahan kosong itu benar-benar menjadi pijakannya.

.

.

Ia mengunjungi kedai pinggir jalan yang menyendiri di balik keluasan padang rumput. Kedai kecil itu sedang mengumpulkan kotak makanan untuk disumbangkan ketika ia yang muncul di depan mereka—ibu dan seorang perempuan—mencoba untuk peduli pada aktivitas mereka.

Perempuan itu bahkan menyajikan spaghetti padanya secara cuma-cuma.

"Tidak ada yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu." Mulanya makanan olahan semacam ini agak asing di mulutnya. "Tapi aku tidak mau disamakan dengan orang-orang miskin yang akan kaliansantuni itu."

Perempuan itu tertawa kecil. "Aku tidak akan melakukannya."

Ia menguasai spaghetti dan sepiring kue mangkuk seperti tidak pernah menemui mereka sebelumnya. Ada berbagai kegiatan manusia yang dirindukannya, bukan belajar caranya memanjat untuk mencuri buah-buahan. Beruntung ia tidak pernah menirukan suara monyet.

"Kau tampak tak begitu baik." Di antara meja makan yang memanjang dan meja—tempat pengeluaran biaya yang menjadi sekat untuk mereka, si pelayan ini tidak pergi untuk membantu ibunya. "Penampilanmu kacau."

Ia menerawang dirinya sendiri. "Aku baru saja selesai berpetualang ke hutan."

"Tanpa membawa apapun?"

"Aku mengalami tragedi kecil dan mengorbankan semua perlengkapan itu." Caranya yang mengelupas kue mangkuk dari kertas cukup tergesa-gesa. Meski mengarang cerita itu mudah, pengelupasan informasi itu mengganggu.

"Apa itu karena beruang yang mengejarmu?"

"Begitulah."

"Beberapa hari yang lalu, seekor beruang hitam datang ke tempat ini. Kami hanya menunggu takdir berbaik hati—membuat makhluk itu menjauh hingga kami bisa keluar." Perempuan mungil itu menyumbangkan senyuman padanya. "Masalah yang kauhadapi pasti jauh lebih berat."

Tentu saja, karena aku disingkirkan. Ia malah mengangguk ambigu jika senyuman yang dibuatnya harus mendapatkan pelatihan sebagai makhluk sosial.

Orang itu pergi—keluar dari kedai—ketika mendapat seruan dari ibunya untuk menyusun daftar penerima setelah permisi padanya. Ia mengekor pergerakan itu dari sudut matanya, menyuapkan potongan terakhir kue itu. Perutnya tidak lagi mengalami penderitaan, tapi entahlah untuk hari-hari berikutnya. Ia perlu pekerjaan baru yang mampu menyingkirkan kegilaannya setelah menjadi pekerja di salon.

Gedung salon tak terurus, separuhnya terbakar, dan kekacauan berbagai alat mesin yang menumbangkan lemari, meja rias, dan perkakas lain di dalamnya. Ia menyayangkan tindakan cerobohnya dalam menangani anak-anak sekolahan saat itu.

"Terima kasih atas sarapannya. Kalian sangat membantu." Ia hendak meneruskan perjalanan yang tak diketahuinya setelah dua orang itu sudah mengemas sumbangan mereka ke mobil pengangkut barang.

Ia menyisir pinggiran jalan bersama terik matahari, namun dengan tenaga yang berbeda.

Dengan perjalanan yang dimilikinya sekarang ini, Citrha hendak menata kembali kehidupannya dari awal. 

Gunting Rumput 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang