Pertolongan manusia tidak termasuk daftar bahan yang dibutuhkan untuk dihimpunnya menjadi jati diri si pembunuh.
Ia dan Flora kebetulan melalui pijakan yang sama, belum begitu jauh dari bangunan sekolah. Selera mulutnya sama seperti mereka semua, dan Nadine tidak begitu terkejut dengan salinan informasi itu. Hanya saja, Flora lebih cepat menemui biodata sang pembunuh, meski masih menjadi kabar yang simpang siur.
"Salon?" Ia mengejanya seperti mengecek kebodohan. "Kau pikir dia adalah pekerja di salon?"
"Kau mau bukti?" Flora merintanginya berjalan. "Bangunan salon itu sudah rusak, sebagiannya terbakar. Kau akan menemukan banyak hal yang bertentangan dengan salon."
Nadine membenci spontan, apalagi perilaku perempuan di depannya ini seperti ingin memberitahu jalan menuju salon itu dengan menariknya ikut serta.
"Aku pernah mengeceknya sendirian karena penasaran. Bangunan itu dikelilingi garis perbatasan—buatan polisi. Sepertinya belum ada informasi yang jelas tentang bangunan itu. Seorang perempuan menjadi saksi atas keanehan salon itu dan seorang pekerja mandiri di sana. Temannya mati dengan kepala terputus ketika dia menerobos pintu salon karena temannya terlalu lama di dalam. Mungkin dulu perempuan itu seusia kita. Dia diliput di televisi dan baru berani berbicara setelah cukup sembuh dari traumanya."
Ia terperangah meski agak meremang dengan cara pembunuhan itu. Televisi bukanlah santapannya sepanjang waktu seperti orang-orang pada umumnya, tapi ia tidak menganggap dirinya berkualitas.
Flora sudah menagih jawaban dari gerakan alisnya, antusias yang tampak mekar di dalam dirinya.
Nadine terlampau membosankan jika diajak secara asal-asalan, seperti pelengkap kuantitas dalam perkumpulan atau hanya sekedar pengantar. Tetapi orang ini memperlakukannya secara berbeda; berlarian di sepanjang padang rumput, menyuruhnya untuk tidak begitu monoton dengan hanya mengikuti aspal ala kadar itu. Dia terus menghela lengannya, hingga Nadine seolah merobek kepribadian yang terbiasa ditampilkannya pada orang-orang.
Menembus angin, menjadi angin, ia seperti mengejar perempuan berambut pendek bergelombang itu.
Di sebelah kirinya, tak jauh di depan. Warna putih kusam, bangunan persegi panjang yang tampak memuat sedikit ruangan, lalu ekor bangunan yang hancur menjadi puing-puing pembakaran.
Ia meniarap, meremas lutut dengan rasa lelah yang dikalikan dengan berat tasnya.
"Hei, ayo! Tempat ini tidak akan menunggumu untuk ditengok!" Gerakan Flora masih seringan angin, kelincahan itu berani mendobrak garis polisi yang sedikit merenggang dengan tembok bangunan.
"Tunggu, kau tidak boleh ke sana!" Caranya mematuhi norma—sudah terprogram dalam dirinya, dengan separuh berlari untuk menghadap muka bangunan.
Flora menyeret pintu yang mulai berderit kasar. "Tempat ini sepi, tidak ada polisi yang melihat kita."
"Pasti ada bahaya jika tempat itu—seperti—dilindungi secara hukum, 'kan?"
Nyatanya, pintu itu tetap didorong hingga memuati ruang untuk tubuh ramping yang mulai melesat ke dalam ruangan itu. Nadine bertindak untuk menyusulnya, meski dalam kekhawatiran yang tidak berubah.
Remang di wajahnya mengalir menyaksikan kekacauan parah di dalam yang berbanding terbalik dengan keadaan di luar bangunan yang tampak baik-baik saja. Sesuatu yang—seperti—roda penggilas kayu berserakan di segala sisi, namun masih tertempel di jalurnya. Ia melangkah perlahan seperti terhipnotis oleh pemandangan ini sambil mendekap dirinya sendiri. Flora mengeluarkan sesuatu dari lemari kaca yang roboh dengan kepingan kaca yang meningkatkan kewaspadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gunting Rumput 2
Mystery / ThrillerBertebaran rumor tentang pembunuh yang diasingkan ke hutan dalam kesendirian Nadine selama mendekam di bangkunya. Seorang murid pindahan mengajaknya untuk mengunjungi bangunan salon yang dipercaya sebagai tempat bekerja pembunuh sebelum diasingkan...