Mulanya Nadine hanya berusaha menyusup pada udara ketenangan di perpustakaan ini sebelum sensasi ini justru mengacaukan perasaannya.
Seorang pemuda yang selalu berada dalam lingkar perhatiannya.
Dante.
Orang itu mengisyaratkan sesuatu pada teman-temannya—dari gerakan tangan—untuk pergi. Dia mengambil alih meja yang dekat dengan Nadine—tepat berada di depannya sekarang.
Nadine pura-pura kembali pada lembaran novel fantasi yang sengaja berdiri di mejanya. Ketenangan sekarang ini ricuh dengan gejolak perasaannya. Ia tidak menyukai saat yang tidak tepat semacam ini.
Kepalanya mempertanyakan banyak hal mengenai pemuda itu. Lembaran kertas yang dibacanya, kenapa dia harus membaca di sini, dan kenapa dia menyendiri—saat ini. Padahal orang itu sangat bertolak belakang dengannya.
Dia seperti mencari-cari sesuatu di dalam koran yang terbeber itu. Nadine berusaha untuk kembali pada novelnya, tapi kepalanya tidak bisa melanjutkan alur di dalam buku. Ia merasa perlu mencuri secuil kalimat yang menjelaskan keseluruhan koran itu, entah untuk apa. Sesuatu telah menggerakannya untuk lebih peduli.
Ketika perhatian matanya menjadi tidak menentu, pada akhirnya—ia tertangkap.
Nadine diperhatikan tanpa hambatan.
"Oh—sebentar, sepertinya aku pernah melihatmu." Dia mencoba menebak. "Kau yang ada di bangku paling pojok itu, 'kan?"
Nadine mengangguk. "Aku Nadine." Ia mulai berpikir keras untuk menambahkan durasi dalam dialog ini. "Kenapa kau membaca koran?"
"Aku sedang mencoba untuk mengincar kisah si pembunuh dari koran-koran lama ini." Dante menarik kertas selanjutnya dari tumpukan. "Sepertinya dia kehilangan ketenarannya di media."
Isyarat tatapan itu seperti mengajaknya untuk bergabung dalam koran-koran lama itu. Nadine agak meragukan balasan yang harus dilakukannya, tapi ia menggeser dirinya keluar dari meja dan mendekat ke sana.
"Entah dari mana 'dongeng' itu berasal. Aku selalu berusaha untuk mencari sumbernya."
Pikirannya kosong, tak ada yang bisa dikatakannya. Ia mengapit buku tebal pinjaman itu sebagai penenang kondisi mentalnya.
"Apa kau tahu sesuatu tentang si pembunuh itu?" Dante mengarah padanya, mencoba untuk tersenyum.
"Dia adalah pegawai salon yang diasingkan ke hutan. Mungkin diasingkan ke hutan setelah menciptakan kekacauan di dalam salonnya. Itu kesimpulan dariku." Nadine membenci aroma intograsi di antara mereka, ia menggaruk-garuk pinggiran buku.
"Kabarnya pasti terpecah-pecah, dan terbentuk dengan cara seperti itu." Dante tampak kebingungan, lalu kertas-kertas itu dipilih lagi. "Pernah ada kabar tentang bangunan salon yang katanya hanya memiliki seorang pegawai wanita. Aku membacanya di koran. Polisi mencari pegawai itu, lalu aku tidak tahu kelanjutannya seperti apa."
"Aku dan Flora pernah mendatangi bangunan salon itu." Intonasi pelan, tidak berharap suaranya akan didengar. Tetapi ia sudah bisa menebak sebelumnya jika pengalaman yang mengejutkan ini akan membangkitkan rasa terpukau dari orang di seberangnya.
"Benarkah? Kau tahu alamatnya?"
"Flora yang mengajakku ke sana." Ia tersenyum. "Seperti ada suatu alat canggih yang merusak bagian dalam salon itu, kami menjelajahi hampir setiap—barang-barang yang berjatuhan di sana. Di gudang yang terbakar, kami menemukan tengkorak yang sudah gosong."
Sepertinya Nadine bisa terbawa arus antusias yang dilancarkan orang ini dari caranya mendengarkan. Dia menanyakan banyak hal mengenai barang-barang yang terjatuh itu, suasana bangunan, dan hal mistis—jika ada. Nadine mengalami arus yang normal untuk membicarakannya.
"Tidak seperti kelihatannya, ya. Kau cukup berwawasan dengan kasus ini. Jika si murid baru itu mau memberikan alamat salon itu, tolong beritahu aku, ya."
"Tentu." Nadine membalas keramahan itu. Jika kelas masih terus berlangsung dengan jam kosongnya, ia tidak keberatan untuk berbicara banyak hal dengan orang ini.
.
.
Biasanya, ia tidak akan begitu peduli dengan apapun yang dilakukan oleh mayoritas. Api unggun yang merekabuat tidak perlu menghangatkan tubuh Nadine.
Keheningan perpustakaan dengan Dante yang berbicara dengannya telah mengubah kepedulian itu. Jika mengetahui segalanya adalah sebuah syarat untuk bisa membuatnya penting di hadapan orang itu, ia akan melakukannya.
Orang-orang bereaksi dengan suatu informasi, sebagiannya berlari ke halaman belakang sekolah, dan ia mengekor gerakan mereka. Tidak begitu banyak yang berkumpul karena didominasi oleh orang-orang seusianya. Sebuah kerusakan di taman yang dirawat turun-temurun itu, terutama di bagian semak berbentuk. Nadine mencoba memfokuskan patokan yang dilihatnya, terutama pada serumpun hijau yang teracak dari sebuah semak yang semula baik-baik saja. Bagian semak yang mereka tunjuk, dengan dominasi percakapan dibandingkan perbuatan untuk membereskan tempat ini. Ia hanya terkejut setelah menemukan kertas dengan gambar yang sudah cukup dikenalinya di antara kepingan dedaunan kecil itu.
Gambar seorang wanita.
Gambar yang berukiran kepala itu.
.
.
Ia hanya keluar dari halaman depan rumah tanpa alasan yang jelas sebelum akhirnya ikut menangani sekelompok kecil tanaman hias yang sedang diurusi kakak perempuannya. Nadine hanya membantu memupuk akar-akar kecil itu, lalu beralih pada gunting rumput untuk mengusir rerumputan liar yang mencoba menandingi pagar kecil yang membatasi halaman mereka.
Nadine terpeleset dalam lamunan, angin menaburkan debu pada matanya. Ia mengelak, berdiri secara langsung sambil menggesek matanya. Pemandangan yang didapatnya tepat mengarah pada rumah kosong dengan proyek yang belum seutuhnya berdiri. Rumah itu memerlukan lantai, sebidang tembok, dan atap yang lebih baik. Rumah itu lahir sebagai kerangka perencanaan sejak Nadine masih SMP, dan apa yang dilihatnya hari ini hanyalah impian yang gagal. Ia pernah melongok sesekali dari mulut rumah tanpa pernah memasukinya.
Tetapi kenapa, rumah itu masih selalu terlihat janggal?
.
.
Nadine mengganti lampu yang mendominasi kamarnya dengan lampu yang meringkas cahaya untuk tidurnya. Kakinya memapah malas, meski bukan kehidupan monoton yang hendak ditemuinya besok.
Ia membuyarkan lipatan selimut dari ujung ranjang. Sesuatu menabrak keras pada jendela memanjang horizontal di samping tempat tidurnya. Nadine terkesiap, mematung untuk sesaat. Tidak pernah ada sesuatu yang menabrak jendela meski itu merupakan faktor alam.
Ia berniat memeriksa penyebab, agak merayap untuk menaiki kasur. Tirai itu menjadi suatu kejutan dari gelapnya langit yang hanya bermodalkan cahaya dari dalam. Secara leluasa, Nadine mulai bisa mengamati, lalu mendorong sayap jendela. Tidak ada yang mencolok dari pot-pot yang berserakan di bawah, selain noda pada kaca yang bergesekan dengan seulas tanah.
Tentu saja; batu.
Kenapa seseorang melempar batu yang mengarah ke kamarnya? Siapa yang akan melakukan hal itu? Nadine tidak memiliki jawaban di kepalanya. Ia mencoba menetralkan suasana—seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gunting Rumput 2
Mystery / ThrillerBertebaran rumor tentang pembunuh yang diasingkan ke hutan dalam kesendirian Nadine selama mendekam di bangkunya. Seorang murid pindahan mengajaknya untuk mengunjungi bangunan salon yang dipercaya sebagai tempat bekerja pembunuh sebelum diasingkan...