Chapter 1

11 4 0
                                    

Nadine mendengar semuanya.

Tentang seorang murid baru yang menjalani ujian akademik dengan hasil yang luar biasa. Kecerdasan yang membawanya untuk bergabung ke kelas ini.

Ia cukup terkesan meski tidak ada yang menarik—baginya—berkecimpung di kelas sains terlebih jika sebenarnya ia tidak cocok untuk mempelajarinya.

Nadine lebih menyukai sejarah dan petualangannya.

Para siswa belum tertata rapi, suara-suara itu berhamburan. Bangku yang dikerumuni tepat di depannya menceritakan tentang murid baru itu; kecurangan karena kualitas otaknya yang akan membuat kedudukan mereka di sini terancam. Nadine hanya mendengar salinan curahan, rupanya. Seisi kelas baru menonjolkan suara deritan bangku ketika seorang guru memasuki kelas.

Hanya seutas pembukaan dari seorang guru sebelum gadis berambut cokelat pendek yang tampak santun itu mulai mengenalkan dirinya.

"Namaku Flora, aku berasal dari ibu kota. Senang bisa bergabung dengan kalian."

.

.

Nadine menyelami petualangan seorang prajurit yang terpisah dari kelompoknya dalam genre fiction-history ketika orang-orang di sekitarnya lebih memilih untuk mengisi perut mereka. Ia mengintip dari bacaannya pada hal yang dialami kelasnya detik ini.

Seseorang bernama Flora sepertinya belum bisa mendapatkan teman yang dapat membuatnya menghilang dari sini. Nadine menginginkan kebisuan ini yang bermakna kelebihan maupun kekurangan bagi dirinya.

Ia berpura-pura menekuri buku ketika merasa mendapat balasan dari perhatian yang tak sengaja dilakukannya. Menonton tiap frase tanpa menyerap jalan ceritanya dan malah harus mencari kalimat yang terakhir kali ditinggalkannya.

Sesuatu terlempar ke kepalanya, lalu benda itu hanya berakhir di lantai. Bola kertas. Nadine tergerak untuk memungutnya, membongkar remasan yang bahkan tidak memiliki makna apapun.

Bangku Flora berada di serong kanan, selangkah lebih depan. Nadine memang menempatkan dirinya di meja paling pojok untuk ketenangan yang diinginkannya; jauh dari orang-orang.

"Hai." Orang itu melambaikan tangan padanya. "Sepertinya hanya kita yang tidak suka berkeliaran di gedung sekolah ini."

.

.

Nadine membenci angin yang menguap terutama di lehernya, tapi ia sudah berjanji pada dirinya untuk berkeliaran di sekitar kreasi berbagai jenis bunga dan semak hias, di belakang gedung sekolah. Hanya ada beberapa orang dan teman mereka yang sama-sama berkomentar pada ruang lingkup tanaman kecil-kecilan ini.

Nadine bertemu dengan deretan semak hias. Ia lebih menyukai bentuk yang terlihat mudah seperti bintang, tanda silang, bulan sabit, dan bentuk lain yang belum dihabiskan matanya—ia berniat melakukannya hari ini. Tepat di hadapannya, salah satu semak yang agak abstrak karena beberapa cabang kecilnya tumbuh melebihi yang lainnya.

Keterangan di bawah semak ini menjelaskan bentuk dedaunan kecil—bentuk seharusnya—dari sketsa pensil.

Kertas sederhana itu melukiskan wajah seorang wanita.

Hanya sebatas kepalanya saja.

.

.

Ia tidak menyangka jika kehidupan si murid baru berembus juga padanya.

Flora seperti mencoba untuk berbicara dengannya.

Nadine sedikit membenci keterlambatan yang membuat sebagian orang mengisi bangku mereka hari ini. Ia hanya merunut alur dalam skenario kehidupannya selama menjelma di kelas ini, tanpa perubahan, hanya sedikit mengganggu.

Flora yang mengekor dari caranya memandang antusias.

"Hei, kukira aku tidak pernah benar-benar berbicara denganmu." Dia memutar tubuhnya—tidak sempurna. "Memang membosankan mengulas biodata dasar lalu kau dilupakan begitu saja."

Nadine menaruh tas di samping meja—di lantai. Ia hanya menunggu kalimat yang akan dibuat orang itu ketika menggeser kursi untuk dirinya sendiri.

"Kehidupanmu sangat sederhana, ya." Flora menidurkan kepalanya di atas lipatan lengan di meja—di belakangnya. "Kau cuma duduk saja di sana, belajar dan belajar, lalu pulang ke rumah. Apa kau tidak bosan?"

Hanya satu dari jutaan mayoritas yang tak memahami, bertanya dengan kurang ajar. Nadine bahkan tidak yakin jika orang seperti ini layak dikatakan berpendidikan.

.

.

Nadine berembuk dengan menjadi bayangan di antara perkumpulan penggosip di depan bangkunya saat ini.

Kabar burung yang beredar tentang seorang pembunuh yang diasingkan ke hutan tanpa pernah bisa keluar dari sana. Ia cukup merinding hanya dengan melukiskan kehidupan orang itu selama di hutan dalam sekelabat benaknya.

"Kalian tahu bentuk semak aneh—salah satu dari karya alumni dua tahun yang lalu itu?" Perempuan yang menumpang di meja Flora, mengumbar aura ketegangan hingga Nadine bisa meresap sensasi itu.

Mereka serempak mengangguk.

"Itu adalah sosok dari pembunuh yang sengaja diabadikan."

Nadine melahap ketegangannya sendiri, sementara mereka yang di depannya berseru melengking dan berdiskusi secara ambigu. Sejarah tak jelas semacam itu mungkin tak lebih dari cerita mulut ke mulut; mengaburkan fakta. Ia pernah mendengar beberapa versi lainnya tentang semak abstrak itu. Dua gadis yang berdialog—yang secara tidak langsung berpapasan dengannya di lorong—mengatakan jika perempuan—yang diabadikan dalam semak itu hanyalah seorang teman yang berpisah dengan para pengkreasi semak yang berkelompok itu. Pembicaraan yang berlalu lalang menceritakan jika semak itu hanyalah sosok perempuan fiksi.

Ia tidak punya pegangan untuk dipercaya, tapi haus akan kebenaran; jalan cerita yang seharusnya. Sementara mereka hanya menggunakan spekulasi dan opini untuk mengkreasikan kisah itu, Nadine akan menggunakan jalur lain untuk memahami si pembunuh dengan caranya sendiri. 

Gunting Rumput 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang