Ardito Seviano

114 15 6
                                    

Dia yang selalu tampak ceria,
Justru adalah orang yang sering memendam duka.

Lusa adalah hari penerimaan raport.

Hari yang amat Dira takuti karena dihari itu kemungkinan akan terjadi eksekusi mati dadakan.

Dira menatap lama undangan yang ada di genggamannya. Berharap keinginannya terkabul dan tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.

Dira pun keluar dari kamarnya dengan langkah pelan, menyusuri tangga rumah dan berhenti di anak tangga terakhir. Dira menghampiri seseorang yang tengah memainkan ponselnya dan duduk membelakanginya.

"Mama." Panggil Dira pada sosok 'Mama' yang ada dihadapannya. Namun yang dipanggil tak peduli dan masih sibuk dengan ponselnya 'entah apa yang dilakukannya'.

"Ma." Dira memanggilnya kembali dengan suara yang lebih keras.
Yang dipanggil merasa terganggu, menaruh ponsel ke meja dan mengangkat alisnya sebagai isyarat 'ada apa?'

Dira yang mengerti pun menyodorkan surat undangan yang sedari tadi digenggamnya ke meja. Tubuhnya kembali tegak dengan tangan yang saling meremas di belakang tubuhnya.

"Mama, bakal dateng kan?"

Dian--Mama Dira hanya mengerutkan keningnya sekilas. Lalu ia memainkan kembali gadget pintarnya. Dira mengembuskan nafas pasrah.
Selalu seperti ini.

Tak lama kemudian, Denisa (adik Dira) datang menghampiri mereka. Ia berjalan cepat lalu memeluk mama dari belakang. Mengacuhkan Dira yang jelas-jelas berada tepat disebelah kirinya. Dian yang terkejut hanya bisa mengelus dada dan tidak ingin memarahi putri kesayangannya itu.

"Anak Mama bawa kabar bagus apa?"

"Ma, Mama dapat undangan dari sekolah nih, lusa ada penerimaan raport di sekolah Denisa. Mama datang yaa, please" jawab Denisa sambil memasang ekspresi puppy face andalannya. Tentu saja untuk membujuk mamanya, padahal tentu saja Dian akan mengiyakan tanpa perlu repot melihat wajah mirip anjing Denisa.

"Iya, sayang. Mama bakal datang kok." Mama mengelus puncak kepala Denisa lalu mengecupnya lembut. Menatap sayang seolah-olah putri kesayangannya itu akan hilang apabila ia berhenti menatap.

"Oke, Ma. Denisa ke kamar dulu ya." Ucap Denisa melangkah menuju pintu kamar yang terletak di seberang kamar Dira. Denisa melalui Dira tanpa mengatakan sepatah kata pun, Dira mencoba tersenyum tipis melihat dirinya tak dianggap disini. Ia mencoba mengerti bahwa mungkin ini bukan waktunya untuk bercakap seperti yang biasa dilakukan sesama saudara. Dira tak merasa iri pada Denisa yang selalu saja di-iyakan apa yang menjadi keinginannya. Tapi dirinya memang perlu bersabar dengan sikap setangguh tembok beton.

"Ma," Dira menghela napas sebentar lalu melanjutkan "terus raport Dira gimana?"

"Setelah Denisa." Jawab Mamanya singkat. Matanya sibuk kembali menjelajah dunia internet yang akhir-akhir ini sering ia buka.

Dira tersenyum sumringah karena akhirnya pikiran buruknya telah kalah. Dalam hati ia meloncat-loncat keriangan. Tak menyangka bahwa setelah sekian lama, Mamanya akan menghadiri acara penerimaan raport di sekolahnya.

"Makasih,Ma. jangan lupa!" Pesan Dira kepada Mamanya sambil menaiki anak tangga pertama.

"Hm"

Jawaban itu sudah cukup melegakan bagi Dira, Dira tersenyum tipis.
'setidaknya pikiran buruknya akan kalah kali ini'

Ia pun menaiki tangga dengan segera dan pergi ke kamar untuk membaringkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar, lalu matanya berkaca-kaca. Tatapan bahagianya berubah sendu. Sebelum menutup mata, Dira mengusap air yang jatuh ke pelipisnya.
"Dira kangen Papa."

A Trip To Your Memory Lane [DISCONTINUE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang