Satu hal yang paling ku sesali sampai hari ini. Bukan aku menyesal karena Tuhan telah menjadikanku sebagai makhluk yang bernama manusia. Aku tak menyesal akan itu. Yang ku sesalkan adalah mengapa Tuhan membuat aku mencicipi kehidupan di dunia ini.
Andai dulu waktu bayi, tangis ku bukan bermakna tentang pertanyaan akan siapa Tuhanku, siapa Rabb ku. Andai dulu saat aku lahir ke dunia, tangisku tak bermakna pertanyaan. Andai kala itu tangisku adalah do'a. Aku mungkin akan berdo'a pada hari itu. Aku akan berdo'a pada Tuhan bahwa aku ingin mati segera saat bayi.
Kalau ditanya mengapa aku seperti frustasi? Aku akan jawab dihadapan Tuhanku bahwa hal itu bukan karena rasa putus asa ku. Aku ingin mati kala itu juga karena aku ingin mati saat dalam keadaan ku masih suci.
Aku bosan karena bukan aku yang menginginkan kotor. Tapi karena aku memang terjebak dengan sistem dunia ini yang mengharuskan aku berjalan di lumpur sesekali, berjalan dengan telanjang kaki. Aku tak mungkin bisa suci kala aku sudah menghadapi dunia ini.
Aku sadar Tuhan memang ingin mengujiku dengan membuatku mencicipi asam manis dunia ini.
Aku kini tak terasa sudah 20 tahun menjejakkan kehidupan pada dunia.
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak bisa merubah dunia ini.
Dalam keterpurukan aku masih percaya pada Tuhan bahwa ia yang telah mengatur semuanya. Yang ku bisa pasrah. Tapi sayang, pasrah ada untuk mereka yang tak mau keras dalam berusaha.
Satu hal yang ingin aku ajukan pada Tuhan. Tuhan kau mungkin tahu dosaku tak lagi bisa ditampung. Tapi aku juga tahu bahwa ampunanMu tak ada yang lebih Agung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Suatu Daerah Tinggi, di Bandung
Poetryaku adalah puisi rumpang yang tak selesai. Bait-baitku tertinggal pada tanah tinggi di bandun kala itu