Airmataku menetes pada bahu yang kini kusandari. Ia mengusap ubun-ubunku dengan lembut.
Aku pandangi wajahnya yang sedari tadi tersenyum.
"Din, sudahlah! Kalau memang tangismu dapat membuat apa yang hilang menjadi kembali, menagislah sejadi-jadinya!"
Tangisku mulai berhenti kala ayah berujar demikian. Kedua tanganku mulai menyeka pipi yang telah basah teraliri sungai air mata.
Benar kata ayah, menangis bukanlah jalan pintas menyelesaikan masalah. Menangis takkan pernah merubah keadaan menjadi lebih baik.
"Din, air matamu terlalu berharga saat kau gunakan untuk menangisi lelaki. Air matamu sudahkah kau pakai untuk menangisi Tuhanmu? Kalau hari ini kau kecewa, bukankah Tuhanmu lebih kecewa dengan hamba yang memilih makhluknya sendiri"
Ayah benar lagi. Air mataku terlalu berharga untuk menangisi lelaki pembohong itu. Lelaki yang sedari awal melontarkan komitmennya tuk bahagia bersamaku sampai akhir. Tapi sudahlah, aku tak lagi bisa mengembalikan waktu. Kalaupun aku bisa, aku takkan mudah tergoda rayuan dan gombalannya.
"Din ikut ayah" ujar ayah sembari menarik tanganku.
Tak lama kami berjalan, aku menemukan dua petak kebun. Kebun yang pertama ku lihat kosong. Kosong tanpa pohon apapun. Sedangkan kebun kedua kulihat sebuah pohon besar dengan beberapa apel yang menggantung.
"Din lihat kebun kosong itu, itulah kamu. Dan kebun yang ada pohon apel itu adalah kebun ayah"
"Maksudnya gimana yah?"
"Kau tahu apa ibarat pohon itu?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku saja
"Pohon itu adalah ibumu, pohon yang setiap hari ayah pupuk dengan airmata perjuangan itu, kini besar dan terlihat kokoh. Dan buah apel disana adalah dirimu din, kau adalah buah hati kami."
"Ingat din, kau jangan pernah menjadi orang begi, dan jangan membuat orang lain begi!"
"Maksudnya?" Tanyaku heran. Heran dengan seheran-herannya. Aku tak tahu apa yang ayah maksud, baru kali ini aku mendengar ayah mengucapkan itu.
"Ingat Din, kau adalah perwujudan dari biji yang akan tumbuh menjadi pohon kembali. Saat kau sudah tiba mencari kebun yang akan kau singgahi, jangan pernah kau mencari kebun terbaik, karena kebun terbaik pun terkadang selalu menimbulkan dua pohon dalam kebun tersebut. Dan jangan pula kau hinggap di satu kebun, namun akhirnya kau tak tumbuh dan memilih tumbuh di kebun lain."
"Tapi din, carilah kebun yang mau menyiramimu baik dengan air suka maupun duka. Kebun yang mau menumbuhkanmu sampai kau tua nanti. Bukan kebun yang menumbuhkanmu tapi menumbangkanmu juga pada akhirnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Suatu Daerah Tinggi, di Bandung
Poetryaku adalah puisi rumpang yang tak selesai. Bait-baitku tertinggal pada tanah tinggi di bandun kala itu