anonim

3 0 0
                                    

Di ujung gang sejauh mata memandang, kulihat wajah mr.x. wajah yang sedang merasuki hatiku tanpa permisi. Ku berlari, sambil membawa harap mendapat senyumannya. Tak lama setelah mendekat, aku berhenti selagi memberi jarak antara kita. Kulihat dibelakangnya berlindung bayang, yang entah aku tak tahu siapa dia.
Baru saja mulut ini mau menyapa, ia langsung berkata
*"Din, maaf. Bagiku kau terlalu baik, terimakasih kau telah mau hadir menghiasi hari-hariku. Aku harap kita bahagia meski dengan jalan yang berbeda"* ujar mr.x sambil memegang tangan bayangan yang mulai muncul.
Sesosok wanita yang kurasa lebih hebat dariku
Tangan kekarnya ku lihat semakin erat memegang bayangan yang mulai nampak jelas. Mataku tak berkedip melihatnya, wanita itu tersenyum kearahku. Dari senyumnya ku rasakan kehangatan.
Tapi entah mengapa, mengapa seketika itu kristal-kristal air seolah mulai menetes dari ujung-ujung bibirku. Aku rasa air-air itu terasa ceupeul. Ah mungkin aku rasa aku sudah tak sikat gigi selama tiga hari. Gigi-gigi ini aku rasa sudah ulai berkarat. Ah entahlah aku juga tak peduli
Tangan kekarnya ku lihat semakin erat memegang bayangan yang mulai nampak jelas. Mataku tak berkedip melihatnya, wanita itu tersenyum kearahku. Dari senyumnya ku rasakan kehangatan.
Tapi entah mengapa, mengapa seketika itu kristal-kristal air seolah mulai menetes dari ujung-ujung kelopak mataku. Ah, padahal aku tak pernah memerintahkan mereka untuk keluar dari tempatnya. Air itu mengalir melalui hamparan kulit yang bernama pipi itu.
Mengapa?
Mengapa dia pergi saat aku mulai percaya menitipkan rasa ini. Mengapa?
Ku buang pandangan ini. Aku tak lagi kuasa, senyum2 mereka membekas menyayat, manghancurkan hati yang sudah mau berlabuh. Cerita putri yang berakhir dengan happy ending bersama sang pangeran, seolah tertahan di lembar halaman tengahnya.
Aku tak bisa lagi. Aku berbalik badan dan berlari sekencang mungkin. Lari sejauh aku bisa. Hingga akhirnya kakiku tak kuat lagi untuk berjalan. Aku terdiam. Tangan ku ku pakai untuk menutup mata yang telah basah dengan airnya.
Aku pukul gundukan tanah di depan ku sambil bertanya mengapa? Mengapa?

Mengapa terjadi?
Mataku semakin sembab, darinya kurasa garam-garam kehidupan mulai keluar.
Aku tak kuasa melihatperistiwa seperti tadi. Aku terjatuh dalam luka yang tersayat silet. Dengan hati yang terhujam panah-panah kekecewaan.
Hingga akhirnya aku rasakan, ada tangan dingin yang menyeka air mataku. Iya mengangkat wajah ku yang sedari tadi tertunduk lesu.
"Din, bangun! Tak seharusnya kau seperti ini."
Pandanganku masih kabur tertutup air kesedihan ini. Semakin lama, pandangan kaburku semakin jelas.
Ya, sosok tua yang selalu membuatku tersenyum. Selalu hadir dalam rintangan yang kujalani sedari kecil.
Ku lihat uban putihnya yang sedikit tak berubah semenjak terakhir kalinya.
Dia lah sosok ayahku.
Kurangkul dan ku lampiaskan sedihku. Sambil ku katakan "ayah mengapa? Mengapa ini terjadi?"

Di Suatu Daerah Tinggi, di BandungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang