"Din sudah sampai sini paham kan?"
Aku menganggukkan kepalaku.
Ayahpun mengusap ubun-ubunku sambil tersenyum. Tapi entah mengapa, semakin lama bayangan ayah semakin pudar. Tangan yang mengelus itu semakin tiada.
Setelah semua bayangan sirna aku bertekad akan memulai semuanya dengan caraku sendiri.
Aku akan mencoba apa yang ayah ajarkan hari ini.
"Din bangun!" Sayup suara dari kejauhan itu mulai terdengar.
Suara itu menggema semakin mendekat saja hingga akhirnya
"Din, gugah geus shubuh. Jam sakieu sare keneh. Ngora keneh mah waka kubluk"
Aku masih tak menggubrisnya. Aku masih terbuai dengan kata-kata ayah tadi. Hingga akhirnya ku rasakan telingaku ada yang menarik dan kata2 menusuk ke gendang telinga itu.
"Uuuuudiiiiiiiin, hudang. Hees teh kubluk2 pisan!"
Spontan aku bangun
"Iya, mak. Ini udin bangun"
"Geus gewat bantuan emak nyieun gorengan!"
Setelah emak menjauh aku bergumam dalam hati
"Goblg ajig, naha aing kalah ka ngimpi jadi awewe, kapan aing lalaki."
Ya itulah namaku, Syamsudin, aku biasa di panggil udin. Tapi biasanya orang2 menyahut namaku dengan panggilan *"DIN"* saja
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Suatu Daerah Tinggi, di Bandung
Poetryaku adalah puisi rumpang yang tak selesai. Bait-baitku tertinggal pada tanah tinggi di bandun kala itu