[Daerah utara pulau Jawa. Entah kapan]
Suara klakson bersahutan.
Siang itu jalur pantura sedang macet parah. Entah mobil, motor, atau bahkan becak sekalipun semuanya diam ditempat tak dapat maju sedikitpun.
Penyebabnya adalah kecelakaan; truk pengangkut kayu menabrak truk pengangkut beton. Barangkali salah satu supirnya mengantuk. Atau mabuk. Entah mana yang benar tapi dua penyebab itulah yang paling banyak menyalur di bibir orang-orang.
Di antara banyak kendaraan yang berbaris panjang, ada sebuah bis berwarna putih merah. Di antara banyak penumpang didalamnya, ada satu orang bersarung-berpeci yang sedang memperhatikan keadaan sekitar;
Ia berdiri di samping-belakang supir sambil memakan buah pisang. Gerah, Ia memiringkan peci supaya bisa menggaruk rambut. Mukanya tak terlihat bosan. Malah sebaliknya, mata lebarnya menyiratkan rasa ingin tau yang jelas meski ia menampakkan ekspresi yang sama-sekali datar.Klakson masih bersahutan diluar, sebagaimana keluhan yang juga memenuhi langit.
"Kalau ngantuk kenapa masih memaksakan nyupir, sih!, Kan yang rugi jadi banyak orang begini, fiuuh... "
Supir bis yang sejak tadi cuma sibuk mengelap muka dengan kain yang menggantung di lehernya juga mulai menggerutu,
"Mungkin dia mengejar target atau entah ada sesuatu yang mendesak. Siapa tau?. " Kernet bis yang merokok di pintu bis menanggapinya,
Lelaki berpeci tadi menyahut pula: "setuju.".
Sahutannya membuat supir dan kernet bis menoleh padanya,Pisangnya sudah habis. Sisa kulit yang kemudian dilepaskannya begitu saja, jatuh ke dekat kakinya.
" Kamu mau kemana, dik? " Tanya si supir, kelihatannya pria gendut berkumis tebal itu mencoba membuang bosan dengan cara mencari bahan obrolan dengannya.
"Pulang.", jawabnya sambil menjilati jari-jari.
" Ke?, ", kali ini si kernet yang bertanya,
" Rumah. "
"Dalam rangka?, " Si supir bertanya lagi,
"Tidak ada rangka. Yang ada cuma itu..." Jawabnya sambil menunjuk ke langit melalui kaca depan bis,Pandangan dua orang tadi mengikuti tunjukannya...
Lalu dua orang itu pun mengernyit,
Bukan. Bukan karena silau. Melainkan jauh disana, mendung mulai datang. Dan jika diperhatikan lebih jeli lagi, tangan lelaki berpeci itu menunjuk ke sesuatu di tengah awan;
Sesuatu yang awalnya nampak seperti titik hitam di kertas abu-abu, namun lama-kelamaan semakin membesar, semakin membesar, hingga jelaslah bahwa sesuatu tersebut bukan titik, tetapi sebuah benda yang terbang dengan cepat;
Helikopter.
"Pesawat?, " Si supir dan kernet bertanya hampir bersamaan,
"He'em" Lelaki berpeci itu mengangguk,
"Mau kemana benda itu? ",
" Kesini dong. ",
Setelah menjawab demikian, si lelaki berpeci berjalan ke tempat duduknya untuk mengambil barangnya; alias tas gendong.
Sementara suara helikopter tadi yang kian terdengar bising mendekat, langkah kaki lelaki itu memancing perhatian; Semua orang memperhatikannya.
Dan,
Dengan santainya lelaki itu malah memasang earphone ke telinga, mengacuhkan semua pandang mata yang tertuju padanya.
Serentak orang-orang heboh ketika rupanya helikopter tadi benar-benar hendak menuju ke tempat itu. Tak terkecuali si supir bis dan si kernet, mereka tergopoh-gopoh mendatangi si lelaki berpeci dan bertanya:
" Itu helikopter ngapain disini?!, ada siapa didalamnya?! Presiden?!, Menteri?! "
Mereka sampai menggoncang-goncang tubuh lelaki itu,
"Sampean bakal percaya kalau saya jawab? ", katanya sambil membuka sebelah earphone nya,
Mereka mengangguk mantap.
Dirangkulnya dua orang itu, lantas ditariknya supaya mendengarkan lebih dekat dan berbisik:
" Tidak ada siapa-siapa. Cuma pilot dan kawannya.".Lalu ia membayar ongkos bis dan lanjut melangkah keluar...
Angin menghantamnya begitu ia berdiri di jalanan yang ramai. Sejenak ia memperhatikan panjang macet yang kira-kira lebih dari dua km, baru kemudian berjalan ke tepian jalan, menunggu helikopter yang kini sudah berada diatasnya ~ melemparkan tangga.
Tak disadarinya banyak orang yang menjauhi tempat itu; ada yang lari ke rumah warga terdekat, ada yang masuk ke warkop terdekat, ada yang bersembunyi didalam atau dibalik mobilnya, ada yang...ah, macam-macam. Mereka takut lantaran angin kencang yang disebabkan dari putaran baling-baling helikopter terlampau kuat...Sampah-sampah beterbangan memadu daun gugur...
Pintu helikopter terbuka. Tangga dijatuhkan.
Lelaki berpeci itu segera meraihnya, kemudian memanjatnya.Ada orang yang marah-marah karena anaknya nangis ketakutan, yang walau tak jelas dia berteriak apa, tapi urat-urat lehernya mengeras.
Mengetahui hal itu, si lelaki berpeci bertindak:
"Fahmi!" Teriaknya memanggil, "urus dia! ",
Maka muncul lah orang yang dipanggil di pintu helikopter, ia sempat menjawab: "siap! ", sebelum melemparkan sebuah kain ke udara...Apa itu?,
Semua orang dibawah heran sambil menatapnya... Orang-orang yang berlindung di tepian jalan~dibawah atap warkop, orang-orang yang berada di dalam mobil, para pedagang kaki lima yang duduk di bawah atap rumah orang... Semua mendongak penasaran. Tapi sedetik saja. Sebab, pada detik kedua mereka langsung menyeringai dan berhamburan ke jalanan...
Uang-uang beterbangan dari kain yang dilempar tadi. Jumlahnya banyak sekali. Saking banyaknya, bapak-bapak yang tadi marah karena anaknya menangis ketakutan jadi lupa bahwa dia punya anak. Saking banyaknya, semua orang di sekitar lupa bahwa mereka terjebak macet sudah beberapa lama...
Sementara kehebohan dijalanan belum beres, helikopter sudah terbang menjauh membawa si lelaki berpeci tadi yang tersenyum melihat kawannya: Fahmi, terbahak-bahak.
"Kamu tidak lihat berapa girangnya orang-orang itu? " Katanya,
Lelaki itu masih tersenyum ketika menjawab:
"Jadi hari ini kamu lihat lagi muka orang-orang pecinta dunia. Jangan sia-sia kan momen ini, bung. Tertawa saja sepuasnya. "
"Tapi mereka bukan orang-orang sini kan, Al? " Tanya Fahmi,Lelaki yang dipanggil 'Al' itu tak langsung menjawab. Ia melihat dulu ke luar kaca,
Saat itu ia baru sadar bahwa tak jauh dari tempat macet tadi terhampar pantai yang sangat panjang. Indah sekali melihatnya dari ketinggian..."Tentu saja bukan, bung. Mereka cuma lewat. Tak menetap. "
Gerimis dan gemuruh menghiasi kepergian helikopter itu, meninggalkan kehebohan yang tak pernah terjadi di jalanan Pantura.
Mari kembali ke jalanan macet tadi...
Si bapak-bapak yang marah, kini kelihatan senang menggenggam banyak uang di tangannya. Diciuminya uang-uang itu dan dipeluknya. Bukan cuma dia, orang lain pun juga seperti dirinya.Tapi,
cuma dia yang lebih dulu kehilangan kesenangan tersebut. Begitu matanya menatap lebih cermat, di bagian bawah uang-uang itu ada tulisan yang menjadikannya tak berguna:
'Uang mainan'
Tangis dan tawa pun menjadi satu:
"ANAK KURANG AJAAAAAAAAAAR!!! "
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Garahna (-kan aku sebelum gila)
أدب المراهقينMemasuki masa remaja memang unik. Ali harus berkali-kali dihadapkan dengan dua pilihan yang saling bertolak belakang di hidupnya; baik yang penting maupun tidak. Ayahnya sempat memasukkannya ke dalam pesantren dengan harapan ia dapat menjadi ses...