5. Garahna

61 4 0
                                    

[November, 2019]

Jika dari awal kita lebih fokus ke kejadian diluar pesantren, mari beralih ke kejadian-kejadian yang terjadi didalam pesantren;

Sehabis obrolannya dengan Asha siang itu di lapangan, Ali merasa seolah kehilangan beban yang sejak awal menduduki benaknya...

Lega.

Ia tak lagi khawatir saat ada kawannya yang mengejek, menyanjung, atau sekedar bertanya tentang gadis bule itu. Semuanya ditanggapi dan dijawab olehnya ringan-ringan saja tanpa ada rasa canggung lagi.

Ia tak peduli apa kata orang lagi, karena ia tidak perlu khawatir Asha akan salah paham. Lagipula sejak hari ini ia selalu menjelaskan kepada orang yang mewawancarai-nya bahwa ia tak ada niatan mendekati Asha dalam segi 'sweet relationship' atau semacamnya yang mengarah pada urusan percintaan. Sama-sekali tidak ada.

Satu lagi,

Bagaimanapun, Ali tau bahwa tak benar baginya untuk dekat dengan wanita manapun yang bukan berada dalam ikatan saudara atau darah. Ia paham itu. Makanya ia mengobrol dengan Asha pun hanya sekadar saja, yang mana hal itu sebagai bentuk pemaklumannya pada Asha yang tentu saja tidak mengerti hukum haram atau halal... Berkerudung saja belum benar: rambutnya masih belepotan disana-sini...

Atau hukum adat masyarakat nusantara.

Asha kan baru pindah ke Indonesia? Dan barangkali, dia kurang paham dalam urusan agama. Kecuali ayahnya sendiri yang mengajarinya...

Dia juga tidak pernah mondok, kan?.

Jadi maklumlah Asha tak canggung mengobrol dengan Ali. Dia belum mengerti saja batasan antara laki-laki dan perempuan di lingkungan barunya...

Kalau sudah mengerti dan terbiasa nanti, pasti gadis itu sendiri pun bakal malu serta menjaga batasan diri.

Sehabis sholat isya, Ali berkumpul di aula pesantren bersama para santri yang lain, membaca nadzaman atau syair tentang ilmu agama beramai-ramai sambil menunggu kedatangan kyai Azka untuk mengaji.

Aula itu letaknya di lantai dua; tepat diatas asrama. Jadi para santri Darun-Nafi' tidak bisa beralasan malas mengaji pada kyai karena aulanya jauh...

Dan bukan hanya aula saja yang tak jauh; surau, kamar mandi, dan sekolah madrasah pun letaknya berdekatan sekali. Kyai Azka sengaja merancang sendiri letak bangunan-bangunan di pesantren sejak awak dibangun supaya para santri merasa nyaman dan semangat selalu...

Maka, jika masih ada santri yang nakal atau malas di Darun-Nafi', berarti santri itu sama sekali tak punya adab dan urat malu.

Masyarakat sekitar pun juga seringkali bicara tentang pesantren itu dan kyainya; sejak dulu pesantren itu meski tak punya nama yang besar, selalu menghasilkan santri-santri yang hebat dan multi-talenta:

Alumninya ada yang jadi pemerintah, jadi bos perusahaan, jadi tokoh masyarakat, jadi ustadz, jadi kyai, sampai ke hal yang tak masuk akal seperti jadi dosen di sebuah kampus Jawa Barat di jurusan I.T atau hukum, dan banyak lagi yang lain.

Walau banyak alumni yang jadi orang sukses, Darun-Nafi' tetap bersahaja dan tak berubah gaya sama-sekali, sebagaimana desa Andarsir yang sejak tahun 90-an selalu menjadi desa yang ramah dan damai...

Seolah teguh pendirian dan tak banyak terpengaruh usikan dari luar.

5 menit kemudian datang kyai Azka dari pintu utama aula, disusul oleh putranya yaitu gus Rasyad yang bergegas menyiapkan tempat duduk dan meja ayahnya didepan, membukakan kitabnya, baru duduk tepat didepannya;

Contoh anak yang berbakti dan itu membuat semua orang salut.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh... " Kyai Azka memulai kajian dengan salam, suaranya memang khas: berat dan serak, tapi telinga menerimanya dengan senang hati...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Garahna (-kan aku sebelum gila)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang