I Hope You Smile

468 31 8
                                    

Beberapa tahun setelahnya.

"Disini aku tak punya teman" ujarnya cemberut sambil memainkan sendok yang ada ditangannya, menatap salju yang turun dari langit melalui kaca jendela yang tepat dihadapannya.
"Siapa yang menyuruh mu mau menikah dengannya? Lagi pula mau-maunya ikut ke amerika" jawab orang disebrang sana membuat wajahnya yang cemberut semakin cemberut.
"Dia suamiku, jadi aku harus ikut dia" wajah tambah masam ketika suara gelak tawa terdengar dari sebrang sana.
"Sejak kapan kau menurut padanya, biasanya kau akan selalu berdebat" jawabnya sambil cekikikan.
"Sejak dia melamarku,  sudahlah jangan membahas dia lagi aku bosan melihatnya, bicara dengannya dan sikap posesif bodohnya itu" ujarnya agak sebal karena mereka malah membicarakan suaminya.
"Kau bosan denganku? " tanya seseorang yang baru datang.
"Iya!  Kau membosankan" ujarnya melihat tajam kearah orang yang baru datang tadi.
"Benarkah?" tanyanya mendekat kearah orang yang mengatainya tadi.
"Iya, setidaknya kita jalan-jalan~ bosan tau dirumah terus" rengeknya memeluk orang tadi.
"Hei!!  Aish... Suara mu menjijikan!! " teriak seseorang yang mengobrol dengannya tadi.
"Ah.. Hahahaha aku lupa, nanti kita sambung lagi ya. Dah" ucapny memutuskan sambungan telponnya dengan orang sebrang sana.
"Siapa? "
"Jihoon" jawabnya singkat lalu kembali memeluk orang itu.
"Owg, ayo"
"Kemana? "
"Jalan-jalan"
"Eh? Jalan-jalan?  Mau kemana? "
"Minimarket" wajahnya kembali cemberut menatap tajam orang nyengir melihatnya.
"Itu bukan jalan-jalan, bodoh! " teriaknya mendorong tubuh besar itu agar melepaskan pelukannya.
"Hahaha.. Kan keluar rumah, sayang" ujarnya menarik kembali tangan orang tadi agar menghadap kearahnya.
"Aku mau pulang!  Jihoon sebentar lagi juga menikah, hyung" ujarnya menatap wajah suaminya.
"Jihoon menikah 2 bulan lagi, jinie. Lagipula kau selalu telponan dengan jihoon setiap hari" dia menarik-narik pipinya. "Aku bahkan cemburu, aku takut kau kembali bersama jihoon. Woojin itu hanya milik daniel! " ucapnya menatap mata woojin tajam, lalu tersenyum manis.
"Aku marah!  Jangan ganggu! " teriak woojin lalu mendorong tubuh daniel, lalu menghentak-hentakkan kakinya menuju kamar.
"Jinie, kopi mu! " teriak daniel melihat kopi woojin masih penuh tergeletak diatas meja.

"Jangan diminum! " woojin merebut gelas kopi yang dipegang daniel, baru saja daniel akan meminumnya tapi sudah direbut paksa oleh pemiliknya.
"Woojin~ jangan marah" rengek daniel melihat woojin kembali kekamarnya lalu daniel mengikuti woojin kedalam kamar.
"KANG DANIEL SIALAN!! "Teriak woojin ketika daniel memasuki kamar mereka.























Beberapa tahun sebelumnya.

"Kenapa? " tanyanya simanis yang berdiri dihadapannya.
"Seharusnya dulu kita tak bersama lagi, ji" dia mendekat kearah simanis yang menatapnya sendu. " seharusnya itu adalah akhir untuk hubungan kita, aku.. Aku tak tau, tapi kurasa kau sangat nyaman dengan guanlin" jihoon menggelengkan kepalanya, dia membantah semua perkataan woojin.

"Dan sepertinya, yah... Kau memang menjaga jarak dengan guanlin tapi hatimu.. Hatimu selalu berkata lain, ji" woojin menghela nafasnya dalam, air mata sudah mengumpul di bawah kelopak matanya. Sakit, sangat sakit sebenarnya tapi jihoonnya tak sama lagi dengan jihoon yang ia temui dulu. Jauh berbeda.

"Tidak!  Aku tak mau, semuanya masih sama jin, masih sama! " ujar jihoon menggenggam tangan woojin. Woojin tersenyum melihat jihoon.

"Dengar, saat kau ada masalah aku bukan orang pertama lagi yang kau cari, saat kau sedih kau tak pergi kepadaku, dan saat kita bermasalah kau tak berusaha memperbaikinya kau malah pergi bersama guanlin" air mata woojin sudah tak terbendung lagi. Pecah, air matanya terjatuh dengan cepat melewati pipinya.
"Kenapa?  Kenapa tak mengatakannya?  Jujur ji, jujur!  Tak perlu menutupi semuanya, aku suka kau yang mengatakan padaku bahwa kau selingkuh dari pada kau mencintai orang lain dan tak pernah jujur padaku" air mata jihoon ikut keluar, benar. Semua yang dikatakan woojin adalah kebenaran. Jihoon lebih merasa kehilangan sejak memutuskan tak menghubungi guanlin dari pada berpisah dengan woojin. Woojin benar Cinta jihoon bukan untuknya lagi, jihoon kembali karena rasa bersalah bukan Cinta.
"Maaf, maafkan aku" jihoon menunduk, dia tak sanggup melihat woojin yang menangis dihadapannya.
"Tak apa, tak masalah. Tak ada yang salah diantara kita. Kita yang tak tau apa yang hati kita mau, aku egois karena terlalu berpikir aku sangat mencintaimu sedangkan kau, kau berpikir dengan kembali kepadaku semuanya akan baik-baik saja, tapi nyatanya kita sama-sama menyakiti, ji" tangan jihoon yang menggenggam tangan woojin bergetar hebat.
"Ku rasa, menjadi sahabat lebih baik" jihoon mendongak melihat woojin. Woojin tersenyum melihat jihoon yang akhirnya melihat kearahnya.
"Jadi sahabat? " tanya woojin menatap mata jihoon.
"Tapi... "
"Sahabat lebih baik dari pada saling menyakiti" woojin melepaskan tangan jihoon yang menggenggam tangannya.
"Bahagia lah bersama guanlin, ji" woojin menarik jihoon kedalam pelukkannya.
"W-woojin" tangis jihoon pecah, kenapa harus woojin?  Kenapa woojin yang harus di sakitnya?.
"Aku harap kau tersenyum" jihoon mengeratkan pelukannya pada woojin. Woojin adalah orang baik.
"Maaf" hanya itu yang bisa diucapkan jihoon.
"Jika kau bahagia, aku juga akan bahagia, ji. Kau sahabatku" woojin mengelus punggung bergetar jihoon menenangkannya.






















I Hope (2park/NielCham/PanWink)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang