03. This moment is my destiny

2.4K 96 3
                                    

Yohan tengah terduduk diatas kloset yang penutupnya sudah ia tutup, ia menatap kosong pintu yang tertutup rapat di hadapannya sambil sesekali mengusap bulir keringatnya yang menetes.

Toilet adalah tempat ia biasa merenungi apa saja yang terlintas di kepalanya, ketika ia merasa cukup atau lebih tepatnya sudah tidak kuat untuk memikirkannya, maka ia akan berpura - pura menekan tombol flush seolah - olah ia baru saja buang air, dan keluar dari bilik toilet dengan perasaan yang tak karu - karuan.

Lagi - lagi, ketika ia keluar ia melihat seorang pria yang tengah mencuci mukanya di wastafel. Yohan meremat jemarinya, menahan entah apa yang ia rasakan dari ujung kepala hingga ujung kakinya.

Pria itu melemparkan senyumnya kearah Yohan, dan tak lama membasuh wajahnya yang basah dengan handuk kecil yang mengalung dilehernya.

"Bagaimana kejuaraannya? Kau sudah siap?"

Yohan hanya tersenyum simpul, "entahlah," jawabnya singkat.

Hanya keheningan yang menyelimuti keduanya kecuali suara gemericik air yang mengalir dari keran, lalu pria itu meninggalkan Yohan tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Lee Hangyul, nama itu tercetak dengan jelas di punggung seragam taekwondo nya. Ketika bahu lebar itu mulai menjauh, buru - buru Yohan membasahi wajahnya sambil menatap pantulan bayangannya pada cermin.

Begitu juga hal yang sama terjadi dengan Hangyul. Seusai latihan ia menatap rintik hujan yang membasahi bumi, lamunannya membuai tinggi entah kemana.

Namun lamunannya terpecah ketika ia melihat sosok Yohan yang berlari menerjang hujan hanya dengan menggunakan jaket. Dengan sigap Hangyul membuka payungnya, ia menyusul Yohan untuk memayunginya.

Yohan menatap Hangyul dengan tatapan terpana.

"Apa ini? Apalagi ini?" Desisnya dalam hati.

Berbeda dengan Yohan yang tampak berbinar, Hangyul hanya memasang tatapan datar padanya , dan ia langsung membuang muka kelain arah. Dirinya tidak mau jika Hangyul menyadari tatapannya yang penuh harap.

Sepanjang perjalanan pulang, mereka berdua tidak mengatakan sepatah katapun. Hanya diam membisu, keduanya bersyahdu dalam pikirannya masing - masing.

Hingga Yohan sampai pada rumahnya pun, tidak ada sepatah ucapan terima kasih keluar bibirnya, dan Hangyulpun tak merasa keberatan akan hal itu, ia kembali melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.

Keesokan harinya Hangyul kembali bertemu dengan Yohan ditempat seperti biasanya, yaitu tempat dimana mereka berlatih Taekwondo.

Yohan tampak begitu gagah ketika ia berlatih untuk kejuaraan yang akan ia hadapi satu bulan lagi. Diam - diam Hangyul terpana mengagumi Yohan.

Sedangkan Yohan sendiri tak menyadari keberadaan Hangyul, namun hatinya kian gundah gulana mencari sosok yang selama ini ia kagumi.

Ia tidak mengerti akan perasaannya, ia kembali teringat akan perkataan teman - temannya jika pria seharusnya mencintai lawan jenisnya, bukan sesamanya. Lantas, rasa apakah yang ia rasakan selama ini ketika ia melihat sosok Hangyul?

Setiap ia melihat sosok Hangyul seperti ada ribuan kupu - kupu berterbangan di dalam perutnya, jantungnya berdebar lebih kencang, bahkan bibirnya tanpa ia sadari merekah menorehkan senyum terindah di wajahnya. Perasaan apakah ini?

Tanpa Yohan sadari sebuah tinju mendarat di pelipis hingga membuatnya jatuh terpelanting. Dengan cepat ia membuka helm pelindung dan menepuk pipinya keras. Walau dalam keadaan gontai Yohan mengumpulkan segenap tenaganya untuk berjalan menuju toilet. Sang pelatih tampak begitu cemas, namun Yohan sudah menghilang dari arena tanding.

Touché [ yohangyul / gyulyoh ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang