Gadis Berjubah Hitam

9 0 0
                                    

Cantik, itu kesan pertama. Tubuh tinggi semampai, wajah cantik yang sebagian tertutup oleh tudung jubah hitamnya, dan lentera kecil dijinjingnya. Berjalan menyusuri jalan setapak menuju bukit yang ada di belakang kandang rusa sambil melontarkan senyum kecil kepada kami.
“Siapa itu?” Tanya Dion dengan wajah penasaran.
“Mungkin orang yang ingin berburu.” Sahut Vino sambil menyodorkan secangkir kopi untukku.
Segera kuteguk kopi itu dan pergi meninggalkan kedua sahabatku yang sedang asik bermain uno. Dengan rasa penasaran, segera aku mengikuti gadis berjubah hitam yang membawa lentera itu tanpa sepengetahuan kedua sahabatku. Siapa gadis itu dan mau apa malam-malam gini pergi ke bukit.
Nampaknya gadis itu tidak tahu kalau sedang ada yang mengikutinya. Ia berjalan santai dengan lentera yang dijinjingnya itu tanpa ada keraguan pada langkahnya. Aku terus berjalan mengikutinya sambil mengendap-endap. Ceklek, kakiku menginjak ranting yang membentang di jalan setapak itu. Seketika aku langsung jongkok. Gadis itu menoleh ke arah belakang. Fyiuhhh! Untung saja gadis itu tidak melihatku di balik semak-semak. Gadis berjubah hitam itu bergegas melanjutkan langkahnya hingga sampai di bukit.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Gadis itu tampak duduk di sebuah batang pohon yang tumbang dan menaruh lentera di sampingnya. Rasa penasaraku semakin besar. Ngapain gadis cantik itu malam-malam di bukit sendirian? Aku berjalan mendekatinya. Aku jadi salah fokus. Aku terkejut dengan pemandangan dari atas bukit itu. Waowww! Indah sekali!.
“Di sini aku bisa melihat bulan yang indah. Bisa melihat ribuan bintang dengan jelas. Mendapatkan udara yang segar dan ketenangan.” Kata gadis itu sambil menatap langit. Aku masih terdiam mengamatinya.
“Aku tahu kamu diam-diam mengikutiku. Apa aku terlihat aneh?” gadis itu menoleh kearahku dan menatapku. Mata yang indah. Aku diam seribu bahasa. Antara bingung dan malu karena telah lancang mengikutinya.
“Kenapa berdiri di situ, sini duduklah.” Katanya sambil memindahkan lenteranya. Aku bergegas duduk di sampingnya.
“Kamu sering kesini?” tanyaku penasaran.
“Iya, jika sedang ingin mendapatkan ketenangan. Tapi aku baru kali ini melihatmu dan dua pemuda yang bersamamu di kadang rusa itu.” Sambil menatapku heran.
Aku menceritakan kepadanya perihal kedatanganku bersama kedua sahabatku itu untuk penelitian demi memenuhi tugas kuliahku. Gadis itu juga bercerita banyak tentang kesukaanya mengunjungi bukit itu. Kami saling bercerita dan bercanda. Tidak terasa kami bercerita sudah lebih dari dua jam.
“Aku harus pulang. Ayah dan ibuku pasti sudah menugguku.” Tanpa banyak kata gadis itu berlari menuruni bukit melewati jalan yang berbeda dengan jalan saat ia datang.
“Hey kita belum kenalan.” Teriakku sambil mengejarnya yang sudah sampai bawah bukit.
“Temui aku setelah matahari terbenam.” Sambil berlari menuju arah mobil yang sepertinya sudah menunggunya sedari tadi. Mobil itu segera melaju saat gadis itu masuk. Aku menghela nafas sebentar kemudian kembali ke kandang rusa. Sesampainya di rumah kecil yang bersebelahan dengan kandang rusa tempat aku dan kedua sahabatku beristirahat, Vino dan Dion yang mencemaskanku langung berdiri dan memelukku.
“Nggak usah lebay deh! Kayak nggak ketemu gue berapa tahun aja lo pada.” Sambil mendorong Vino dan Dion.
“Gue khawatir bro. Kirain lo tersesat.” Kata Vino sambil menepuk punggungku.
“Iya tersesat di hati gadis cantik itu tadi.” ucapku sambil merobohkan badanku ke kasur. Ngimpi! Sahut Vino dan Dion kompak. “Mana ada gadis cantik keluyuran malam-malam di bukit, yang ada nenek-nenek cari kayu bakar” tambah Vino. Aku tidak mempedulikan ejekan kedua sahabatu itu. Kami segera tidur karena jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Keesokan harinya aku, Vino, dan Dion kembali melakukan penelitian pada rusa-rusa yang ada di kandang. Aku berbincang-bincang dengan salah seorang penjaga rusa. Aku jadi teringat gadis tadi malam yang ada di bukit belakang kadang rusa. Aku menanyakan gadis iu kepada penjaga rusa itu, Pak Mino namanya. Kata Pak Mino gadis itu memang sering datang ke bukit itu sendirian setiap minggu malam dan rabu malam. Pak Mino juga tidak banyak tahu tujuan gadis itu ke bukit untuk apa.
Azan maghrib berkumandang. Setelah solat aku sengaja di luar agar bisa bertemu gadis itu lagi. Namun benar apa kata Pak Mino gadis itu tak akan datang ke bukit pada senin malam.
Rabu, hari yang kutunggu-tunggu. Senang sekali rasanya hari yang kutunggu-tunggu tiba. Tidak sabar rasanya ingin bertemu dengan gadis berjubah hitam itu. Setelah solat maghrib aku segera bergegas keluar dan tidak mempedulikan ajakan kedua sahabatku itu untuk bermain uno.
Gadis itu datang! Tapi tunggu siapa laki-laki yang menggandeng tangan gadis itu. Aku terus mengikutinya sampai di atas bukit. Deg! Seketika jantung rasanya berhenti berdetak melihat gadis itu berpelukan dengan laki-laki yang tampaknya seumuran dengannya. Hatiku rasanya teriris. Perih. Melihat kedua orang itu bermesraan. Aku memang baru sebentar bertemu dengan gadis itu bahkan namanya saja aku belum tau tapi aku telah jatuh cinta dengannya.
“Kamu adalah orang pertama yang duduk denganku di atas bukit ini dan mungkin kamulah satu-satunya.” Tiba-tiba aku teringat kata-kata yang diucapkan gadis itu saat duduk berdua bersamaku. Tanpa pikir panjang aku menghampiri kedua sejoli yang sedang berpelukan itu.
“Katamu aku satu-satunya orang yang menemanimu di atas bukit ini, apa laki-laki itu juga satu-satunya yang memelukmu di atas bukit ini?” sindirku terhadap gadis itu. Mereka berdua kaget mendengar suaraku dan menoleh kearahku.
“Kenalin aku Bima.” Sambil menjulurkan tangannya.
Laki-laki itu memperkenalkan dirinya kepadaku. Namun aku tidak menghiraukannya dan bergegas menuruni bukit dan kembali ke kandang rusa. Aku menggerutu dan menceritakan apa aku alami kepada kedua sahabatku. Hahaha..kedua sahabatku hanya menertawankanku. Sial!.
Aku mencoba melupakan gadis itu dan menyelesikan tugas penelitianku bersama kedua sahabatku. Tiba-tiba Pak Mino menghampiriku dan memberikan sepucuk surat untukku. Segera kubuka surat beramplop merah itu. Selembar surat dengan pesan yang sangat singkat.
Temui aku setelah matahari terbenam.
Gadis.
Dengan wajah dan hati yang kecewa, aku hanya menaruh surat itu di kursi dan mengacuhkannya. Aku melanjutkan menyusun laporan penelitian hingga sore. Kulihat gadis itu berjalan menuju bukit dan melontarkan senyum kepadaku. Namun, wajahnya tampak lemas dan pucat. Aku menghiraukannya dan terus mengerjakan laporan penelitianku. Kutengok ke arah belakang tampaknya gadis itu telah sampai bukit. Aku menghentikan pekerjaanku dan mengambil surat yang kuletakan di kursi.
“Apa ini surat dari gadis itu,” kataku dalam hati. “Tapi kenapa gadis itu ingin menemuiku dan datang ke bukit pada sabtu malam,” pikirku heran. Aku menghiraukan surat itu lagi. Kulekakkan kembali surat beramplop merah itu di kursi dan bergegas masuk kerumah dan bermain uno dengan kedua sahabatku tanpa mempedulikan surat itu.
Keesokan harinya aku kembali menyusun laporan penelitianku dan melihat surat di amplop itu masih tergeletak di kursi.
“Kenapa nggak lo samperin cewek yang sering ke bukit itu?” tanya Vino padaku. “nggaklah buat apa!” jawabku ketus. “Terserah lo deh, tapi besok jangan nyesel ya!” Vino beranjak meninggalkanku.
Aku teringat gadis itu dan berniat untuk menemuinya nanti malam karena aku tahu gadis itu pasti di bukit hari minggu malam. Sore hari langit tampak cerah dan cahaya matahari yang hampir tenggelam tampak keemasan. Aku tidak menunggu gadis itu lewat tetapi aku langsung pergi ke bukit. Aku menunggu gadis itu di bukit sambil melihat bintang yang bertaburan. Sudah satu jam aku menunggu gadis itu tetapi ia tidak datang.
Ehem.. suara laki-laki yang pernah bersama gadis itu mengejutkanku. “Mau apa kamu di sini?” tanyaku ketus. “Aku hanya ingin mengenang saudara kembarku yang rela memberikan satu ginjalnya demi kesehatanku.” Kata laki-laki itu dengan nada yang muram. “Maksudnya?” tanyaku cepat.
Laki-laki yang bernama Bima itu ternyata adalah saudara kembar dari gadis itu. Bima menceritakan semua tentangnya dan tentang saudara kembarnya. Bima menderita gagal ginjal dan telah lama terbaring lemah. Gadis itu tidak tega melihat saudara kembarnya sakit. Ia mendonorkan salah satu gnjalnya untuk saudara kembarnya. Namun, transplantasi ginjal itu tidak berjalan mulus. Bima bisa sehat kembali tetapi gadis itu yang hanya mempunyai satu ginjal menderita kerusakan pada ginjalnya. Nyawanya tidak dapat terselamatkan. Hatiku rasanya tercabik-cabik mendengar penjelasan Bima. Bima telah meluruskan kesalahpahamanku namun aku sangat menyesal tidak menemui gadis itu setelah matahari terbenam.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang