Dua ribu tiga, dua ribu tiga. Teriak anak membawa baki berisikan potong-potongan kue. Pakaiannya lusuh dengan sandal jepit buluk yang dikenakannya, ia menghampiri kerumunan orang di warung makan untuk menjajakan kuenya dengan ramah.
“Kak kuenya kak, dua ribu tiga,” menyodorkan baki ke depan gerombolan mahasiswi yang sedang asyik mengobrol. Ada yang membeli dan ada juga yang acuh mengalihkan pandangan.
“Satunya berapa Dik?” tanya salah seorang wanita berjilbab merah jambu yang menghampiri penjual kue itu.
“Kalau satu harganya seribu Kak, kalau beli tiga kue harganya dua ribu aja Kak,” dengan wajah yang sumringah penjual kue itu menjawab.
“Aku beli tiga deh,” kata wanita berjilbab itu sambil memberikan uang sepuluh ribu kepada penjual kue.
“Sebentar ya Kak aku ambilkan dulu kembaliannya,” penjual kue itu segera meletakkan bakinya di meja dan merogoh kantong kecilnya untuk mengambil uang kembalian.
Saat uang kembaliannya didapat, wanita berjilbab merah jambu itu sudah pergi meninggalkan si penjual kue. Kak..Kak..kembaliannya! teriak penjual kue itu sambil berlari keluar warung makan untuk mengejar wanita yang telah membeli kuenya. Namun, si penjual kue itu tidak dapat mengejar karna jalanan yang ramai dengan kendaraan. Yaudah deh besuk kalau ketemu lagi. Bisik penjual kue dalam hati.
Penjual kue itu terus berkeliling menjajakan kuenya. Setiap bertemu orang ia menawarkan kuenya dengan ramah. Banyak yang membeli, banyak juga yang mengacuhkan penjual kue itu. Namun, ia tak pernah patah semangat. Kue.. kue.. penjual terus berteriak menawarkan kuenya.
Hari sudah petang, penjual kue itu bergegas pulang. Sebelum pulang ia membeli satu bungkus nasi di warteg. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa nasi bungkus dan kue sisa jualannya hari ini. penjual kue itu tampak gembira walaupun sisa kuenya masih ada tapi setidaknya hari ini ia berhasil menjual banyak kue.
Keesokan harinya penjual kue itu kembali berkeliling menjajakan kuenya. Kue.. kue.. kuenya Kak. Ia mengunjungi warung makan di dekat kampus. Berharap dapat bertemu wanita berjilbab kemarin yang belum mendapatkan kembaliannya. Eh itu kakak yang kemarin. Bisiknya pelan.
“Permisi Kak, Kakak yang kemarin belum mendapat kembalian dari saya ya?” Tanya penjual kue itu.
“Oh itu buat Adik saja. Buat jajan gak usah pake kembalian.” Jawab wanita berjilbab itu.
“Wah gak enak saya Kak. Masa uangnya masih kembalian tapi gak balikin.” Ujar penjual kue itu.
“Saya ikhlas Dik, buat Adik saja.” Sahut wanita berjilbab itu.
“Sekarang saya mau beli lagi Dik kuenya.” Imbuh wanita itu.
“Terimakasih ya Kak, semoga Allah ganti dengan yang lebih banyak. Oh iya Kakak mau berapa?” Tutur penjual kue itu.
“Amin.. kuenya dua saja Dik.” Jawab wanita itu.
Lagi-lagi wanita berjilbab itu memberikan uang lebih namun tidak mau diberikan kembalian. Wanita itu malah ingin membantu penjual kue itu untuk berjualan. Mereka berdua berkeliling untuk menjajakan kue bersama sambil bercerita. Hingga wanita itu tahu bahwa penjual kue itu yatim piatu dan harus merawat adiknya.
“Boleh aku ikut ke rumahmu?” Tanya wanita itu.
“Boleh Kak, adik saya pasti senang.” Jawab penjual kue itu dengan semangat.
“Kalo gitu kita habiskan dulu dagangan kita.” Wanita itu mengajak penjual kue untuk melanjutkan berjualan.
Kuenya habis tak tersisa. Alhamdulillah. Bisik penjual kue itu pelan. Berkat wanita itu penjual kue dapat menjual habis kue-kuenya.
“Terimakasih ya Kak, berkat Kakak kue-kue sayang bisa habis terjual.” Ucap si penjual kue itu dengan raut wajah bahagia.
“Sama-sama Dik, aku juga seneng bisa ngebantu Adik.” Sahut wanita itu.
“Yuk kita ke rumahmu.” Imbuh wanita berjilbab itu.
“tapi kita mampir warteg dulu ya Kak, beli makanan untuk Adik.” Ujar penjual kue itu.
Seperti biasa penjual kue itu mampir warteg untuk membelikan makanan untuk adiknya. Setelah membeli makanan penjual kue dan wanita berjilbab itu melanjutkan perjalanan pulang. Di sepanjang jalan mereka saling bercerita. Tak terasa sudah sampai di depan sebuah bangunan besar.
“Kamu tinggal di sini?” Tanya wanita berjilbab itu.
“Dibelakang gedung ini Kak.” Jawab penjual kue itu lirih.
Deg! Wanita itu terkejut melihat tumpukan kardus yang penjual kue sebut itu rumah. Di sana juga terlihat seorang balita duduk sambil memegang perutnya. Wanita meneteskan air mata. Ia tak tahan melihat keadaan seperti itu.
“Ini rumahku Kak, dan itu adikku.” Tegas penjual kue itu.
“Iya Dik.” Jawab wanita itu sambil menyeka air matanya.
Bagaimana bisa anak seusia dia berjualan kue untuk menghidupi dirinya sendiri dan adiknya yang masih kecil?. Tanya wanita itu dalam hati. Ia sangat prihatin melihat keadaan itu. Sambil terus menyeka air matanya wanita itu mendekati adik si penjual kue yang masih balita.
“Halo namamu siapa?” Tanya wanita itu kepada adik penjual kue.
“Namaku Lani Kak.” Jawab adik penjual kue sambil tersenyum.
“Namanya Rani Kak, tapi dia belum bisa huruf ‘r’.” imbuh penjual kue itu meluruskan.
“Ini makanan untukmu Dik.” Ucap penjual kue itu sambil menyodorkan sebungkus nasi.
“Oh iya kamu gak makan Dik?” Tanya wanita itu kepada penjual kue.
“Makan Kak nanti kalo adik sudah selesai makan. Dia juga gak akan habis makanan segitu.” Jawab penjual kue.
Wanita itu hanya terdiam. Ia kagum dengan si penjual kue itu. Penjual kue itu sangat sayang kepada adiknya. Padahal di usianya sekarang ini seharusnya penjual kue itu sekolah seperti teman-temannya. Namun, dalam pikiran penjual kue itu adalah bagaimana ia dapat bertahan hidup bersama dengan adiknya. Cita-citanya adalah dapat menyekolahkan adiknya. Agar sang adik dapat bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Sungguh besar sekali hati penjual kue itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
RomanceCerpen Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penulisan Karya Sastra