Oktober telah usai. Seharusnya usai juga urusan patah hatiku dengan laki-laki berengsek itu. Laki-laki yang berkencan dengan adik kelasnya di hari ulang tahunku. Ya, itu sudah berlalu. Sekarang memasuki bulan November harapanku adalah segera dapat melupakan laki-laki yang selalu mengobral janji manis itu. Sudahlah tidak usah diingat-ingat lagi. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri.
Alaram alami berbunyi. Deraaa.. Deraaa, sudah siang Nak. Hmmm itu suara ibuku yang selalu membangunkanku setiap pagi untuk berangkat sekolah. Aku segera bergegas mengambil handuk lalu mandi. Setelah siap berangkat ibu memanggilku.
“Ada apa Ibuku sayang?” Aku berlari menghampiri ibu.
“Ini kainnya gak jadi dibawa?” Tanya ibu sambil menyodorkan kain putih.
“O iya lupa.” Aku mengambil kain itu dan memasukkannya ke dalam tas.
“Berangkat dulu Bu, Assalamualaikum.” Pamitku sambil mencium tangan ibu.
Aku segera berangkat sekolah karena sudah pukul 6.30. Sesampainya di sekolah bel tanda masuk berbunyi. Aku segera masuk kelas. Pelajaran pertama adalah prakarya. Kami diminta untuk menyiapkan kain putih yang sudah dibawa. Kemudian kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Kelompokku beranggotakan Gea, Yoga, dan Arva. Guru menjelaskan tugas siswa yaitu membatik. Kami segera menuju ke ruang prakarya.
“Kamu pernah membatik gak sih Ra?” Tanya Gea kepadaku.
“Pernah sih dulu waktu SD.” Jawabku.
“Pake apa sih ngebatiknya tu?” Imbuh Yoga.
“Pake malam dipanasin trus ngebatiknya pake canting.” Aku menjawab pertanyaan Yoga.
“Hah?! Malam? Malam hari?” Arva menanggapi penjelasanku.
“Malam-malam aku sendiri…” Gea menjawab dengan usil.
“Ya elah curhat si jones ini.” Arva menggoda Gea.
“Enak aja, aku gak jomblo keles, tuh Dera yang jones.” Gea meledekku sambil tertawa.
“Lah kamu udah putus?” Tanya Arva sambil menatapku.
“Tauklah, cuma mau ngejek.” Jawabku sambil mempercepat langkahku karena kesal dengan perkataan Gea. tapi nggak salah juga sih. Ya aku jones, jomblo ngenes karna diselingkuhin. Menyedihkan sekali.
Tak terasa kami sudah sampai di ruang prakarya. Setelah Bu Efa menjelaskan cara membatik dan mempraktikkannya, kami diminta mengambil alat untuk membatik di gudang dan mencari tempat yang teduh di luar ruang prakarya untuk memulai membatik.
“Yog, kita ambil alat yuk di gudang biar Dera sama Arva cari tempat.” Kata Gea sambil menatap Yoga.
Gea dan Yoga pergi ke gudang. Sementara aku dan Arva mencari tempat untuk kami membatik.
“Di situ aja kayaknya adem.” Usul Arva sambil menunjuk arah pohon ketapang yang besar.
“Iya adem tuh.” Jawabku sambil berjalan menuju ke bawah pohon ketapang.
Sambil menunggu Gea dan Yoga, kami berdua ngobrol. Tak lama kemudian Yoga dan Gea datang dengan membawa kompor, wajan, malam, dan beberapa canting untuk membatik.
“Kita masak-masak gaes.” Kata Yoga sambil menaruh kompor dan wajan kecil untuk membatik.
“Apaan sih, gak jelas.” Sahutku sinis.
“Hadeh orang kalo lagi patah hati tu gitu ya.” Ledek Yoga kepadaku.
Kami saling bercanda sambil menyelesaikan pekerjaan kami. Tanpa terasa bel pergantian jam pelajaranpun berbunyi. Kami segera membereskan peralatan membatik yang kami gunakan. Setelah selesai, kami kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Teng..teng..teng. Tanda berakhirnya seluruh pembelajaran hari ini. Aku mengemasi barang-barangku dengan lesu. Ketawa-ketawa seharian tapi kok rasanya kosong ya. Gumamku sambil menggendong tasku.
“Yuk pulang.” Ajak Arva yang tiba-tiba ada di sampingku.
“Hah? Iya.” Jawabku terkejut.
Aku dan Arva berjalan bersama menuju parkiran motor. Disepanjang jalan Arva mengajakku ngobrol. Tetapi ya namanya juga orang lagi galau jadi cuma iya iya aja diajak ngobrol. Sesampainya diparkiran aku sibuk mencari motorku yang ntah di mana aku memarkirkannya.
“Ra.. ini motormu disini.” Kata Arva sambil menunjuk motor yang ada di sampingnya.
“Oh iya iya.” Sahutku sambil keheranan dengan diri sendiri kenapa bisa sampai lupa parkir motor. Emang kalo lagi galau gini ya. Gumamku sambil berjalan kearah Arva.
“Kenapa sih kamu tu Ra? Udahlah gak usah dipikirin.” Ujar Arva sambil menatapku. Aku hanya menggelengkan kepala sambil memakai jaket.
Aku dan Arva akhirnya pulang. Sesampainya di rumah aku mengecek ponselku. Ada pesan masuk dari Arva. Tumben Arva ngechat. Gumamku sambil membalas pesan dari Arva. Kita berdua saling berbalas pesan sampai malam. Ternyata Arva asyik juga ya orangnya. Bisikku dalam hati. Sampai akhirnya aku bercerita tentang semua yang aku alami di bulan Oktober kemarin. Lega sekali rasanya setelah bercerita dengan Arva melalui telpon.
“Udah malem nih Ra, lanjut besok lagi ya di sekolah.” Ucap Arva ingin mengakhiri pembicaraan kami melalui telpon.
“Iya Va, sampai ketemu besok ya.” Sahutku.
“Oke, selamat tidur Dera.” Ujar Arva sambil menutup telponnya.
Hari-hari berikutnya aku dan Arva jadi sering main bersama. Entah mengapa aku bisa melupakan sakit hati yang kurasakan. Arva berhasil membuatku nyaman ketika berada di dekatnya. Banyak hal-hal yang kutemukan di diri Arva yang tidak pernah ku pada orang lain yang pernah dekat denganku. Ahh apa aku suka sama Arva ya. Bisikku dalam hati. Bagaimana tidak, setiap kita pergi malam mingguan Arva selalu memberiku setangkai bunga mawar merah. Hati wanita mana yang tidak luluh lantak. Berbunga-bunga rasanya.
Minggu depan akan dilaksanakan ujian akhir semester. Tak terasa sudah akhir bulan. Seminggu lagi bulan November usai. Kami sibuk mempersiapkan UAS dengan belajar kelompok setiap hari. Tapi senangnya adalah setiap hari juga aku dan Arva ada tambahan waktu untuk bersama. Bagiku Arva adalah moodbooster yang membuatku semangat belajar.
Setelah UAS selesai aku dan Arva hampir setiap hari pergi main. Benar-benar berwarna sekali hari-hariku bersamanya. Kemana-mana selalu berdua. Seperti dunia hanya milik berdua, yang lain ngontrak.
“Hari ini kita ke taman kuliner yuk” Ajak Arva kepadaku.
“Ngikut aja deh aku.” Jawabku sambil tersenyum.
“Yaudah yuk berangkat.” Tambah Arva.
Aku dan Arva menuju ke taman kuliner dengan menaiki motor Arva. Sepanjang perjalanan kami tertawa. Ada saja yang kami tertawakan. Hal yang tidak lucu menjadi sangat lucu. Bahagia sekali.
“Udah sampe sayang, eh keceplosan.” Arva menggodaku sambil tertawa.
“Sayang siapa?” Tanyaku membalas Arva.
“Sayang tukang parkir.” Celetuk Arva sambil tertawa. Akupun juga tertawa.
“Mau jajan apa nih?” Tanya Arva kepadaku.
“Pengen batagor..” Jawabku sambil menatap Arva.
“Oke kita beli.” Arva menggandengku menuju ke penjual batagor.
Sembil menunggu batagor, kami memesan minum dan mencari tempat duduk yang kosong.
“Itu di depan ada bangku kosong.” Ucapku sambil menunjuk bangku paling depan.
“Boleh, yuk.” Sahut Arva.
Kami berdua duduk di bangku yang sudah ku pilih tadi. Tak lama kemudian pesanan batagor dan minum kami datang. Aku dan Arva langsung memakan batagor sambil ngobrol. Tiba-tiba kami berdua terdiam. Huh! Ngomongin apa lagi ya ini. Bisikku dalam hati.
“Dera...” Tiba-tiba Arva menyebut namaku.
“Iya.” Jawabku sambil menaruh sendok batagor.
“Aku sayang sama kamu. Aku udah lama suka sama kamu tapi aku tau dulu kamu punya pacar. Jadi, aku gak berani ngungkapin.” Ujar Arva sambil menatapku serius.
Aku hanya terdiam tidak dapat berkata apa-apa. Perasaanku campur aduk. Antara senang dan takut. Takut jika aku diselingkuhin lagi. Mengingat kejadian itu baru sebulan yang lalu.
“Kamu mau gak jadi pacarku?” Imbuh Arva.
Aku hanya tersenyum sambil menatap Arva. Huh! gimana ini. Bisikku dalam hati.
“Hey.. kok diem aja. Gak mau ya?” Sahut Arva yang membuatku terkejut.
“Mau mau.” Jawabku tegas.
Ya. Hari ini tanggal 30 November aku dan Arva resmi jadian. Saat itu yang ada dipikiranku hanya aku ingin bahagia. Kubuang jauh-jauh pikiran jelek tentang Arva. Aku percaya Arva tidak akan menyakitiku. Karena aku yakin Arva tidak seperti laki-laki bangsat itu.
Kukira bulan November ini akan sangat kelam. Tetapi ternyata aku salah. Bulan November ini penuh warna. Dan Arva, berhasil menutup bulan November ini dengan membuatku sangat bahagia. Aku berharap di bulan-bulan selanjutnya bisa merasakan kebahagiaan yang sama setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen
Storie d'amoreCerpen Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penulisan Karya Sastra