01. Lunatic Inside-Out

71 3 6
                                    

Cinta ternyata tidak seluar biasa katanya. Bagi Juanda perasaan itu tidak lebih dari rasa menggebu yang riuh berisik, kemudian memadam dengan perlahan. Juanda adalah seorang ahli cinta, begitulah apa kata isi pikirannya. Dia sudah melewati apapun jenisnya.

Namun, sekarang sudah tiba untuknya, saat getaran seperti itu tidak lagi ada.

Kebutuhannya untuk membangun perasaan itu dengan orang lain sudah mati. 

Tepat disaat dia sudah bisa membunuh wanita pujaannya dengan cintanya.

°°°


Sudah cukup lama dari terakhir perkara tersebut meledak. Saat ini Juanda seolah hidup dengan identitas baru. Dia menjauhi wanita manapun dan berhenti hidup untuk orang lain. Hanya ada dirinya dan seorang lagi. Tetapi, yang terpenting angin baru datang padanya sejak saat itu. Dia hidup dalam kenyamanan luar biasa—menurut versinya.

Terutama hari ini, sejak pagi angin muson barat bertiup sangat serius—Juanda mulai curiga apakah ada gadis hujan dikotanya. Sampah-sampah kertas dan plastik, seolah memiliki kendaraan tak kasat mata yang menjemput mereka dengan paksa ke peristirahatan selanjutnya. Tak ayal beberapa dari mereka berakhir lebih tragis dari yang lainnya. Seperti tertabrak bus kota dan masuk gorong-gorong. Atau sekadar mengudara, menari-nari mengejek manusia yang tidak bisa terbang dari atas langit.

Dan disudut lain taman kota, salah satu koran lokal mendarat di wajah Juanda. Ironisnya ia juga sedang membaca koran sepak bola. Netra jernih seperti madunya mengintip dari balik bayangan koran pada kacamatanya. 

Itu tidak mengganggunya sama sekali, bahkan Juanda melanjutkan membaca koran gratis itu setelah selesai pada berita yang ia cari. Tangannya yang bebas meraih Cafe Bombon disampingnya dan sesekali menyeruput atau berkumur.

Entah mengapa masih ada orang yang mau membeli koran, hanya untuk mencari informasi mengenai pencetak gol terakhir di pertandingan sepakbola antar kota. Padahal smartphone nya bisa jauh lebih cepat menemukan informasi, daripada 15 menit perjalanan dari rumah ke tukang koran.

Membicarakan tukang koran, seorang wanita paruh baya sepertinya tidak berniat beranjak dari sisi bangku Juanda. Sesekali ia melihat ke sekitar dan menatap pria itu dari samping, mencuri lirik. Wanita paruh baya itu bahkan bisa mendapati dengan jelas seseorang lain berjalan ke arah mereka atau lebih tepatnya ke arah pemuda itu.

"Sudah lama menunggu? Maaf, padahal sebentar lagi jam masuk"

Suara lembut seorang wanita menginterupsinya. Pemuda itu mendongkakkan wajahnya dan menyapa wanita itu dengan wajah cerahnya. Si wanita merasakan matanya menggelap sesaat dan jantungnya mendesir ngilu. Ia mendapatkan perasaan yang rumit disana.

Bisa si pemuda lihat wanita itu berpakaian rapi dengan dress dan jas merah muda ber-renda yang memberi kesan feminim, rambut hitam lurus disampirkan dibelakang kedua telinganya. 

"Tidak kok, saya juga sengaja datang lebih awal untuk membaca koran" Juanda menunjukan korannya dan bergeser dari tempat duduknya membiarkan wanita itu duduk di tempatnya tadi. 

"Padahal kamu tidak perlu bergeser" ucap wanita itu tetapi ia akhirnya duduk juga. 

Wanita penjaja koran tadi memutar matanya saat wanita itu duduk disamping Juanda, ia perlahan menjauhi tempat itu dan akhirnya mencari pelanggan lain.

Si pemuda menjawab sembari melipat korannya."Tempat yang ini belum dibersihkan, saya harap Bu Maliska mau menerima rasa hormatku" 

"Liska, saja. Kamu masih saja terlalu formal padaku" 

Ada banyak hal yang Juanda pikirkan untuk tidak memilih panggilan yang lebih akrab. Alasan utamanya adalah seseorang bisa memecatnya jika ia salah bicara. Kedua, dia memang tidak berniat menjadi lebih dekat dengannya. Itu karena sebuah panggilan membuka pintu depan atas hubungan yang sudah pasti tidak ia kehendaki setelahnya. 

Ludic L-(ove)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang