02. Home Bittersweet Home

54 4 2
                                    

Lakban dan kacamata. Mereka adalah perpaduan rutin yang Juanda dapatkan pada wajahnya setiap awal bulan. Dia harus menunggu bonus pekerjaannya cair, baru setelahnya dapat menggantinya dengan kacamata yang baru. 

“Gianni, lagi? Bisa tidak, sih. Tidak mengganggunya barang sehari saja? Bercerminlah! Wajahmu kacau sekali! Aku saja yang melihatmu begini terus, sudah bisa muntah darah!” Seorang pemuda berwajah panjang dan berambut mullet, meletakan kotak P3K di meja Juanda. Ini Kemal.

Juanda hanya terkekeh dengan kantung es di pipinya. “Dia menggangguku lebih dulu! Aku hanya.. membela diri sedikit”

Pemuda pendek berambut blonde murahan dengan name tag Gibran, mendekat dan meletakan sebuah kaos di meja Juanda. “Tapi dia akan membalasmu dengan sadis. Padahal, kamu yang lebih tahu betapa tidak warasnya dia dalam menghitung beban keadilan”

Keadilan. Itu benar sekali. Bagi Gianni, keadilan adalah kondisi dimana dia menang mutlak. Jadi, instingnya akan selalu mengarah ke keadaan tersebut. 

“Sudah terjadi, mau bagaimana lagi. Lagian ini bukan masalah, aku pernah memukulnya lebih parah dari ini” 

Ekspresi Juanda sama sekali tidak terlihat seperti seorang korban. Dia sendu sesaat kemudian tersenyum dan bahagia dengan cara yang mengerikan. Gibran dan Kemal saling pandang, kedua pemuda itu akhirnya melengos ke mejanya masing-masing. 

Mengapa perlu khawatir? Mereka pada dasarnya sama-sama orang sinting. 

Juanda yang masih terkekeh sendiri mengingat tragedi selai kacang Gianni di masa lalu, tanpa sadar hampir menjatuhkan sebuah cup di mejanya. Netranya membesar, ia baru menyadari benda itu mengepul disana. Setelah masuk ke ruangan, tadi dia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dan menemui satpam gedung. 

Tepat di sebelah kopi, terdapat sekotak makanan. 

Hm? Siapa?

“Jib, tadi siapa saja yang datang ke mejaku?”

Gibran yang kembali sibuk dengan pekerjaannya hanya menjawab sekedarnya “Bu Liska.. mungkin. Aku tidak begitu memperhatikannya, terakhir dia datang menanyakanmu sembari membawa kantung belanjaan”

“Aku melihatnya.. dia pergi ke mejamu sebentar. Cih, bukannya semua wanita memang suka pergi ke mejamu? Apa yang kau temukan, huh? Surat cinta lagi?” Kemal menjawabnya dengan dendam pribadi. 

Juanda mengerutkan bibirnya menatap nanar kopi itu “.. Bukan apa-apa. Kurasa, hari ini aku sudah cukup minum kopi”

Perasaan Juanda campur aduk. Memori terdalamnya akan wanita kembali memangkas fokusnya. Dengan cepat dia membuka ponsel dan mengirim pesan pada seseorang. 

| Hari dingin seperti ini, bukankah sangat cocok untuk makan ketan hitam? Mau aku belikan? |

Juanda tidak mengharapkan jawaban yang cepat, namun ponselnya bergetar hanya dalam beberapa saat. 

|Jangan coba-coba membawa makanan lain ke rumahku 🖕|

Seketika senyum terukir kembali di bibirnya. Kemal disisi lain mengintip dari balik layarnya. 

“Marjuanda, kita masih di kantor” 

Mendengar itu Juanda memutar kursinya dan berdiri sembari membawa kaos yang Gibran beri untuknya. “Aku akan berganti pakaian dulu”

Sebelum beranjak, Juanda dengan sempat membuka kotak makanan dan memakan tomat ceri dari dalamnya. 

“Mal, kopiku.. kau boleh memakannya” ucap Juanda yang berjalan cepat.

Ludic L-(ove)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang