Chapter 4 : Mari Berteman di depan Kamera

7.9K 1K 24
                                    

Chapter 4 : Mari Berteman di Depan Kamera

Jangan terlalu percaya dengan senyum, mungkin hal itu adalah pembungkus luka

"Seluruh barang pribadi udah lo bawa?" Olin bertanya ketika Anza menggeret kopernya keluar dari kamar apartemennya. Koper dengan ukuran besar itu tergeletak begitu saja setelah Anza berhasil menyeretnya di depan Olin, tentu saja tugas penyeretan selanjutnya akan diambil alih oleh gadis itu.

"Udah, gue bawa lima sepatu dan delapan kaca mata. Baju-baju pantai gue juga udah masuk semua," jawab Anza sambil berlalu menuju dapur guna mengambil air minum untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Olin bedercak sebal, untuk apa juga Anza membawa lima sepatu sekaligus sementara mereka hanya akan berada di Bali selama tiga hari.

"Jam berapa kita ke bendara?" tanya Anza sambil berjalan mendekati Olin.

"Sekarang, pesawatnya berangkat pukul sebelas. Makanya bururan!" jawab gadis itu dengan nada sebal.

Anza mengangkat bahunya cuek, dia berjalan mengekori Olin yang sudah mengambil alih koper besarnya. Walaupun berbadan kecil Olin memiliki kekuatan yang cukup besar, sehingga tugas menarik koper bukanlah hal yang berat untuknya.

"Gue perhatiin lo nggak ada komunikasi sama Reval beberapa hari yang lalu," Olin mengajak Anza bicara seletah mobil yang dikendarai sopir kantor mereka melaju menuju bandara.

Wanita itu menoleh, mengamati wajah Olin yang menatapnya penuh penasaran.

"Mau ngobrol apa? Lagian dia kok yang pura-pura nggak kenal sama gue," jawab Anza.

Olin mengangguk-anggukan kepalanya paham. "Wajar sih kalau mantan pacar nggak saling sapa, pasti canggung banget kan kondisinya waktu itu."

Kini Anza yang mengangguk antusias, mengingat kembali kecanggungan mereka hari itu membuat bulu kuduknya meremang, apa lagi ditambah dengan kicauan Rion yang sembarangan. Ransanya Anza benar-benar ingin mencincang pria itu, untung saja setelah mendapat teguran langsung dari Reval, Rion jadi lebih pendiam.

"Pak Aeris kemarin udah wanti-wanti ke gue, katanya lo jangan terlalu ketara ada masalah sama Reval, apa lagi kalau di depan kamera." Olin bicara dengan nada memperingatkan. "Lo tau sendiri lah berita negarif bisa mempengaruhi banyak hal," lanjutnya.

Anza mengangguk. Dia sudah memikirkan hal ini matang-matang setelah kejadian di pertemuan makan siang waktu itu. Setelah ini dirinya dan Reval tidak mungkin bisa saling mendiamkan seperti kemarin. Mereka harus bekerjasama di depan layar televisi untuk menghibur orang-orang, apalagi dulu kedekatannya dan Reval sempat jadi perbincangan yang hangat, akan sangat membingungkan kalau tiba-tiba mereka berhenti bertegur sama.

Pemikiran ini membawa Anza dalam rencana baru. Dia tidak mungkin mengajukan damai dengan pria itu. Perlakuan Reval beberapa tahun lalu masih membekas di hatinya dan dia juga belum melupakan pertengkaran yang membawa mereka pada kata putus hingga saat ini. Akan sulit sekali jika Anza memulai perbincangan dengan mengangkat tema damai demi keberhasilan projek mereka kali ini. Jadi salah satunya cara adalah tetap membiarkan Reval dengan mode diamnya. Lalu bagaimana dengan pekerjaan mereka? Tentu saja Anza akan bekerja secara profesional. Dia akan tetap memberikan senyum ramah, sapaan dan guyonan pada pria itu walau hanya sebatas ketika layar kamera menyorot ke arah mereka. Selebihnya Anza akan mengikuti jejak Reval yang memilih untuk diam. Mudahkan?

Public StuntTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang