↳Calon Suami?

25 3 13
                                    


Kombinasi putih biru itu mengingatkanku pada era penjajahan. Iya, penjajahan rasa yang sama sekali tidak mengandung unsur kebahagiaan.

"Yang mana sih orangnya?"

"Cie cie..."

"Kenapa nyariin dia?"

"Penasaran aja, kalian sering sebut nama dia padahal gue nggak tahu yang mana orangnya."

"Terus elo bakal ngapain setelah tahu orangnya?"

"H-hah?"

"Cieee Regan! Ada yang suka sama elo nih!"

"Heh apaan sih, Lilda?!"

Sialnya, aksi Lilda itu kian membuatku pusing. Ada empat orang cowok yang langsung menatap ke arahku dan aku tidak tahu nama keempatnya. Alhasil aku tetap tidak berhasil mengetahui siapa yang bernama Regan diantara mereka.

Rasanya aku ingin melupakan pertanyaan polosku waktu itu. Tanggapan yang diluar dugaan itu seakan membuat jantungku meledak. Aku berada dalam kondisi yang selalu kudapat ketika terlalu banyak orang yang memperhatikan. Antara aku yang terlalu mudah jatuh cinta atau mungkin aku yang salah mengartikan keanehan pada diriku, aku tak dapat memahaminya.

Delapan tahun sudah kulampaui semenjak kenangan itu tercipta. Menyisakan semua kepingan misteri yang tak akan pernah terpecahkan. Jika diberikan kesempatan walau hanya sekali, aku ingin membuatnya bersua.

Kenapa dia membiarkanku di tengah jurang ketidaktahuan?

Mengapa ia begitu enggan mengungkapkan perasaannya?

Apa hanya aku yang merasa membutuhkannya?

Lagi-lagi dunia membuatku belajar akan kehidupan. Bahwa sebaris kalimat dalam pesan digital itu belum tentu melukiskan perasaan pribadi pengirimnya.

Pada akhirnya tak ada yang berubah. Ia tak pernah bertanggung jawab atas pernyataannya. Kata-katanya yang kukira akan mengubah rutinitas hidupku dengan mudahnya menguap ke angan-angan.

"Permisi? Apa saya bisa bertemu dengan Shenly Nidiya Hurfi staf bagian anggaran?"

"I-iya? Saya Shenly."

"Oh, cantik seperti yang saya dengar."

Di tengah hujan deras yang melanda Jakarta kala itu, segala kenangan yang membelenggu kepalaku seakan hanyut dan menggenang di hilir sungai bernama masa lalu. Saatnya aku menepati janji yang telah kulantangkan pada diriku untuk menyambut lagi sindrom aneh berjulukan cinta.

"Maaf karena pertemuan yang mendadak dan terkesan membuat anda tidak nyaman. Untuk itu saya tidak akan basa-basi dan langsung mengatakan tujuan saya."

Cara bicaranya yang sangat formal itu tidak terlalu membuatku terkejut. Mungkin aku tidak ingat seluruhnya namun aku yakin dia bicara dengan cara yang sama padaku saat pertemuan pertama dan yang kukira juga menjadi pertemuan yang terakhir kita.

"Tidak apa, dokter. Saya juga sedang dalam jam istirahat sekarang. Silahkan, hanya ini yang bisa saya tawarkan."

Ujarku dengan menyodorkan segelas air putih ke hadapannya. Lantas aku pun menenggak air dari gelasku.

"Saya adalah calon suami yang dijodohkan dengan anda dan kita akan menikah satu bulan mendatang."

Otomatis aku batal menenggak air yang sudah berada di tenggorokanku itu. Aku terbatuk hingga air mata mulai menggenangi penglihatanku.

"B-bagaimana... Kenapa... Hah, aku bahkan tidak tahu harus bertanya mulai dari mana."

"Saya tahu tindakan yang saya lakukan ini tidak sepenuhnya benar tetapi hanya inilah cara yang bisa saya pikirkan."

HaludayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang