↳Cinta dan Jatuh

11 3 13
                                    


"Segitu nggak berartinya gue dimata elo. Dunia elo emang cuman buat Kahrin ya?"

Kali ini gue berhasil membuat atensinya beralih padaku.

"Sorry, gue bohong sama elo waktu gue bilang gue bakalan bahas alasan abang elo terima perjodohan ini. Tujuan gue sebenarnya itu buat minta tolong sama elo supaya nggak beri tahu apa pun tentang huhungan kita di masa lalu. Elo tahu sendiri kan sikap papah elo kaya gimana?"

"Kalau gue nggak mau? Nggak ada ruginya juga buat gue."

"Elo tahu kan resiko dari pilihan lo itu? Perjodohan gue sama bang Jean bisa batal, Gan."

"Memang itu tujuan gue. Nggak ada yang perlu diomongin lagi, kan?"

"Kalau gitu elo harus lanjut kuliah di luar negeri."

"Terus kenapa?"

"Regan, elo udah gila ya? Elo nggak peduli sama tante Tiffany apa?"

"Jangan berlagak seolah elo ngerti kehidupan gue ya."

"Elo nggak kasihan sama bang Jean? Gue minta tolong banget sama lo, Gan."

"Kasihan? Mending elo nggak usah nikah sama bang Jean kalau elo nikah cuman karena kasihan."

"Pfft, bukannya kalimat itu buat diri elo sendiri ya? Elo lupa sama apa yang lo lakuin ke gue? Apa cuman gue yang merasa alasan elo nembak gue waktu itu cuman karena kasihan?"

Regan terdiam mendengar kalimatku.

"Dipikir-pikir gue lebih kasihan sama elo, Gan. Elo punya mamah yang selalu dipihak elo, punya abang yang rela berkorban buat elo, tapi elo justru mikir kalau mereka semua nggak pernah perhatian sama lo."

Pria itu mengalihkan pandangangannya, mencoba mengelak dari semua fakta yang aku ungkapkan.

"Sekali aja elo lihat sekeliling lo dari sudut pandang mereka. Kalau elo udah paham, gue mau elo dengar cerita gue. Sekarang bang Jean cuman punya gue. Dia merasa bahagia sama gue meski niat awalnya itu cuman buat bikin elo tetap kuliah disini. Dan bang Jean takut kalau perjodohan ini gagal, tante Tiffany bakal ngelakuin hal yang nekat biar bikin elo tetap disini."

Dia masih tetap di posisinya. Memandang lurus tanpa terlihat niat untuk membalas ucapanku.

"Kebanyakan ngomong sama tembok, gue jadi haus. Kalau udah nggak ada lagi yang mau diomongin, elo boleh pergi kok."

Aku berdiri dan hendak memesan segelas matcha latte.

"Ok, gue ikutin permainan elo. Tapi elo harus ingat satu hal."

"Apa?" tanyaku lantas mengurungkan diri untuk pergi dari sisinya.

"Nggak selamanya hal ini bisa jadi rahasia walaupun bukan gue yang cerita."

"Sure, I'm not you who can dumped any person without a reason and I believed Jean's too."

Hari-hari menuju pernikahan aku dan Jean berjalan lancar. Sesekali aku bertemu Regan jika aku sedang berkunjung ke rumah keluarga Yeltera dan dia bersikap biasanya.

Tiga hari sebelum pernikahan kami, aku dan bang Jean sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan kami masing-masing. Ini seperti menjalankan budaya masyarakat jawa yaitu dipingit. Meski tak sepenuhnya kami lakukan, setidaknya aku dan bang Jean tidak melakukan komunikasi seperti telepon atau panggilan video.

Kini aku sedang menikmati jam istirahatku di kantor. Mendadak ponselku bergetar. Rupanya mami meneleponku.

"Halo mi?"

"Kenapa kamu nggak bilang sama mami?"

"Hah? Bilang apa?"

"Kalau Regan itu mantan kamu."

HaludayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang