chapter 3 : promise

36 7 0
                                    

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤ

Mark menyalakan mobil mewah berwarna merah milik ayahnya,
Dalam perjalanan dia berpikir keras dimana harus mencari Diana,

Club malam?

Sungai Han?

Rumah Doyoung?

Ujung tebing? Kalau-kalau dia sudah putus asa sekali, hingga ingin menghabisi nyawanya sendiri,

Atau sebenarnya dia masih belum kembali dari tempat yang didatangi nya tadi?
batin Mark,

Firasatnya mengatakan bahwa Diana masih disana, masih di daerah yang tadi mereka datangi,

Firasatnya bahkan hampir tak pernah mengkhianati dirinya sendiri, Mark delapan puluh persen percaya dengan nalurinya,

Ia memutarkan mobilnya, berkendara menuju daerah dimana Diana dengan gusarnya ingin membunuh gadis malang itu.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Mark menutup pintu mobilnya dengan kencang, rupanya udara disini masih sama seperti tadi, masih tetap dingin,

Mark memeluk dirinya sendiri, menjaga agar dirinya tak terlalu merasakan dinginnya udara saat ini.

Tak peduli seberapa dinginnya, Mark harus menemukan temannya itu,

Rupanya mobil hitam yang mereka gunakan siang tadi masih terparkir dengan apik didepan sebuah toko bunga yang sudah tutup,

"Firasatku memang selalu dapat diandalkan. Lihat toko-toko sudah hampir tutup seluruhnya, tapi dia masih betah berlama-lama disini?"

"Atau jangan-jangan?"

Mark membayangkan sesuatu dalam pikirannya sambil bergidik ngeri,

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Dor!

"Akhirnya aku berhasil membunuhmu, dasar pelakor tak punya etika!"

"Hahaha, akhirnya kau mati juga."

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

"Apakah dia sedang menangisi kekejamannya saat ini?"

Mark menggelengkan kepalanya, mencoba menghentikan pikiran tidak jelasnya itu,

Dan, mencoba berpikir positif, mungkin temannya itu sedang minum kopi atau makan pasta,

Ya anggap saja itu sebagai penenang dalam dinginnya udara dan pikiran Mark saat ini.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Mark hampir-hampir mendatangi setiap toko yang masih buka, dan menanyai mereka, apakah Diana datang ketoko itu ataukah mereka melihatnya pergi kemana.

Dan sampailah giliran toko ke empat, sebuah caffe bergaya klasik dengan hiasan wallpaper yang menutupi hampir setiap sisi dinding,

Mark memasuki caffe itu, satu-satunya toko yang masih lumayan ramai,

Mark menanyai seorang pramusaji yang baru saja selesai membereskan bekas pesanan,

"Permisi?"

Pramusaji itu membalikkan badannya, kemudian tersenyum menatap Mark,

"Iya, ada yang bisa saya bantu?"

PECULIARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang