Berhayal tentang sang pangeran hujan
..........
Kamu itu oksigenku. Jika kamu tak ada. Bagaimana caraku bernafas?
..........
"Mai gue berangkat. Lo gak mau ngantarin gue?" tanya Dean disebrang sana.
"Gue gak enak badan banget. Kabari gue aja kalau udah sampai ya!" ujar Isla dengan suara dibuat selemah mungkin. Isla terlalu takut menghadapi perpisahan. Ia hanya mampu diam dan meratapi. Usaha? Percuma! Jika takdir telah berkata, ia bisa apa? Hanya mengikut alur dan cerita.
"Loh? Lo sakit apa Mai? Demam? Flu? Gue jenguk dulu ya? Mau gue bawain apa?" Dean membondongnya dengan berbagai pertanyaan.
Dasar Dean! Jelas ia akan meninggalkan negara ini. Tapi masih sempat memikirkan orang lain, bukan diri sendiri.
"Gue gak papa. Ini udah biasa. Terpenting, lo berangkat sekarang. Jangan sampai ketinggalan pesawat. Bahaya, uangnya ke buang sia-sia."
"Iya deh. Jaga kesehatan ya Mai! Jangan sering sakit. Gue suka khawatir kalau lo sakit. Get well soon, Honey!" Dean terkekeh diakhir kalimat. Lucu sendiri mendengar perkataannya. Apalagi membayangkan wajah Isla yang memerah. Eits, memerah bukan karena malu, tapi karena marah dan geli.
"Masa bodo. Udah pergi sana lo. Dahhh. Kalau punya pacar, cepet kasih tau gue ya! Pokoknya gue orang pertama yang harus tau." Isla berkata dengan ceria. Berusaha untuk tidak menampakkan suara sedih.
"Iya bawel. Gue berangkat dulu," sahut Dean. Lalu mematikan telponnya.
Isla langsung menghela nafas sangat kencang. Berusaha mengurangi sesak di dadanya. Ternyata sesakit ini saat harua berpisah dengan orang terkasih. Sungguh seperti ada yang menghimpit dadanya sehingga sulit sekali rasanya untuk bernafas.
Bukannya tak mau mengantarkan Dean. Isla hanya mencoba menerima kenyataan. Takut nanti akan terbawa suasana lalu mencegah kepergian Dean. Ah, seperti novel saja!
Hari ini minggu. Dimana ia biasa menghabiskan waktu bersama pelanginya. Sekarang pelanginya telah pergi. Nafasnya telah melamban seiring langkah pelangi yang kian menjauh. Baru beberapa menit saja, ia sudah merindukan pelanginya.
Isla tak meneteskan air mata sedikit pun. Ia pikir, tak berguna membuang-buang air mata hanya untuk perpisahan. Itu pasti terjadi, lalu buat apa menangisinya.
Driingg ... Dringg ....
Isla terkejut mendengar bunyi ponselnya. Pasalnya sedari tadi ia sibuk melamunkan kenangannya bersama Dean. Dengan malas ia mengangkat telpon tersebut.
"Hallo," sapa Isla dengan nada tak semangat.
"Lo udah ngantarin Dean?" tanya seseorang disebrang sana.
"Gak. Gue gak pergi ngantarin dia," jawab Isla datar pada Rena yang sudah siap menceramahinya panjang lebar. Ya, Rena mengetahui Dean akan pergi dari Isla.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALUSINASI
Teen FictionKisah tentang seorang Isla yang selalu berhayal mendapat pangeran hati yang mampu membuatnya luluh. Tiap saat wajahnya selalu terbayang dibenak ini. Barang sedetikpun tak mengizinkan diri ini untuk tenang tanpa gangguannya. Bukan ia yang salah, nam...