Amira merapikan kerudung dan nikapnya, Ia akan pergi keluar untuk menjemput Khaira--Adik perepuannya yang mengaji di mesjid. Biasanya Kahira akan pulang bersama dengan Abi yang selesai melaksanakan sholat Isya di Mesjid. Tapi, untuk hari ini, Abinya memiliki keperluan di luar sana.
Untuk menuju ke Masjid, Amira harus berjalan 50 Meter. Sepanjang perjalanan Amira hannya fokus pada jalanan yang ada di depannya. Angin malam membuatnya menggosokkan kedua tangannya agar bisa menciptakan kehangatan. Sesekali Amira memegang jilbabnya yang terbang-terbang tertiup angin.
Amira mempercepatkan langkah kakinya ketika melihat Khaira yang sudah berdiri di pintu Masjid untuk menunggu dirinya.
"Udah selesai ngajinya?" tanya Amira basa basi
"Udah dari tadi"
Dari balik cadarnya Amira tersenyum ketika melihat bibir adiknya ia manyunkan ke depan. Gadis yang baru menginjak usia 6 tahun itu terlihat begitu menggemaskan, ditambah lagi pipinya yang cubby dan tingkahnya yang selalu membuat orang di sekelilingnya tertawa.
"Khaira udah dijemput?" tanya seseorang dari dalam Mesjid yang bersuara bariton.
"Udah, Ustadz Adam" Khaira tersenyum kepada Adam yang masi berada di dalam.
Jantung Amira berdetak dua kali lebih cepat, Ia mersakan gelisah dihatinya. Amira masih tidak bisa melihat siapa pemilik suara tersebut, Terdengar langkah kaki yang mendekati mereka, dan perlahan memperlihatkan seorang pemuda yang usianya tak jauh darinya.
Ia mengenakan baju koko, sarung, dan lengkap dengan peci hitam yang terletak rapi dikepalanya.
"Ustadz, kenalin ini Kakak Khaira"
Amira membolakan matanya melihat tingkah adinya kali ini, rasanya ingin sekali Ia menarik tangan adiknya dan pergi meninggalkan Ustadz itu. Tapi, jika itu Ia lakukan, akan terlihat tidak memiliki etika yang baik. Sebagai seorang kakak, Ia akan memberikan contoh yang baik untuk adiknya.
"Cantik kan, Ustadz?"
Akira meraih tangan adinya, agar dia tidak kembali bicara yang akan membuat dirinya malu. Amira melirik tajam ke arah adiknya yang juga sedang memandanginya dengan tatapan tak berdosa.
Ustadz itu melihat ke Amira sebentar dan kembali melihat ke bawah. Ada rasa yang berbeda ketika melihat Amira, walaupun yang terlihat hannyalah kedua matanya saja, tetapi mata itu seperti memancarkan sesuatu yang membuat orang lain betah berlama-lama memandangnya.
"Emm, kita permisi pulang diluannya, Ustadz" dengan gerogi dan wajah yang menunduk Amira memberanikan diri untuk mengahiri semua ini.
"Ya, silahkan"
Amira langsung menarik tangan adinya, dan bersiap untuk memarahinya agar tidak bersikap sembarangan seperti tadi.
***
Dengan terpaksa Akmal menuruti perintah Mamanya yang meminta untuk menemaninya belanja keperluan dapur.
"Mama kan uda bilang, pulangnya cepet, kalau uda malam kayak gini mau belanja dimana?" Mamanya terus saja mendumel, memarahi keterlambatan Akmal yang telat pulang ke rumah.
Tanpa banyak bicara, Akmal memberhentikan Jagur di depan toko sayuran yang lumayan jauh dari rumah mereka. Akmal mengetahui toko itu dari Adit, Ia selalu mengantarkan Enyak yang akan belanja, dan toko itu tutup sampai tengah malam.
"Udah sampai, ma " Akmal membuka helm yang menyangkut di kepala dan meletakkan di kaca spion Jagur.
Leha sedikit ragu untuk belanja di toko itu, seumur hidup Ia belum permah belanja di tempat yang bisa dibilang kumuh dan terdapat genangan air kotor yang berada di depan pintu masuk. Tetapi, mengingat persediaan bahan dapur sudah sama sekali tak tersisa, mau tak mau, Leha menyetujui ucapan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaqah Cinta
Teen Fiction"Aku mau kita putus!" teriak Karla dengan wajah keras. "Emang kapan kita jadian?" Akmal bertanya dengan begitu santai. "Eh ...." Karla melotot. "Bukannya waktu itu ...." "Gue cuman jadiin lo bahan taruhan! Baperan amat." tegas Akmal diselingi tawaan.