Kaki Akmal begitu gatal sekali ingin pergi keluar dari ruang keluarga saat mendengar kata-kata menyakitkan yang dilontarkan sang Papa untuk dirinya. Ruangan yang semakin lama terasa begitu sesak, seakan oksigen semakin menipis.
"Apa susahnya, kamu luangkan waktu yang gak berguna sam sekali untuk nganbil baju di laundry?" intonasi Ahmad semakin meninggi.
"Karna kelakuan kamu, Istriku hampir celaka"
Apa itu tadi? Akmal merasa Papanya sedang bicara bukan seperti seorang Ayah memarahi Anaknya, tetapi lebih tepatnya seorang Majikan sedang memarahi Budak.
Leha mengeratkan pegangan tangan di lengan kokoh Ahmad, mencoba untuk tidak berbicara lebih lanjut, yang akan membuat dirinya menyesal dikemudian hari.
"Gak usah berlebihan, Pa! Buktinya Mama gak kenapa-napa" suara Akmal terdengar tertekan.
Ahmad berdiri dari duduk dan diikuti Leha, tatapannya tajam mengarah ke Akmal yang masih terduduk dihadapannya, rahangnya mengeras, tangannya mengepal menahan emosi. Jika istrinya tidak memegangi tangannya, mungkin satu pukulan sudah mendarat mulus di tubuh Akmal.
"Cepat keluar dari sini!" Ahmad melirik tajam ke anaknya.
Akmal membuat lekukan senyum di wajanya, Ia sudah mengira hal ini akan terjadi. Masalah kecil yang berkaitan membahayakan sang-Mama, pasti dirinyalah yang akan menjadi sasaran kemurkaan sang papa.
Akmal berdiri dan mulai berjalan keluar, memang ini yang Ia sedang tunggukan dari tadi. Pergi keluar dan meninggalkan ruangan yang membuatnya susah untuk bernapas.
"Bawa sekalian baju dan semua barang, kamu!"
Leha menatap wajah suaminya, takpercaya dengan apa yang barusan Ia dengar. Akamal yang selangkah lagi melewati pintu, mendadak Ia memberhentikan langkahnya.
"Saya gak mau kamu semakin membahayakan hidup Istriku. Lebih baik kamu keluar dari sini, dan ganggu saja kehidupan orang lain!"
"Pa, jangan membesarkan masalah!" Leha semakin mencengkram kuat lengan suaminya.
Ahmad melepaskan tangan istrinya dengan kasar. "Untuk kali ini, jangan halangi Aku!" Ahmad menaiki tangga dengan cepat.
Leha menatap punggung anaknya yang masih berdiri mematung.
"Nak, semuanya bakal baik-baik aja. Percaya sama Mama" Leha mengelus pipi anaknya sambil berderai air mata."Aku selalu percaya sama Mama" Akmal menangkupkan tangannya di wajah sang mama, menghapus air mata yang membasahi wajahnya.
Langkah kaki Ahmad membuat keduanya melihat satu sama lain. Ahmad sudah turun dengan membawa koper di tangannya. Ia lempar begitu saja di hadapan anaknya.
"Cepat keluar!"
Akmal mengambil koper itu , tetapi kembali dirampas Leha.
"Enggak, anak aku gak bakal pergi kemanapun!" Leha menekan setiap kalimatnya."Dia harus keluar dari rumah ini!" Ahmad mengambil paksa koper dari tangan Leha, dengan sekejap koper itu sudah berpindah tangan pada Ahmad.
"Apa- apaan kamu? Dia itu anak kamu, anak kita" Leha memeluk erat sang Anak sambil berderai air mata.
"Stop!" teriak Akmal yang dari tadi hannya diam menyaksikan pertengkaran orangtuanya.
"Papa mau aku kekuar? Aku bakal keluar sekarang" Akmal mengambil koper itu dan pergi keluar dengan hati dan pikiran yang berkecamuk. Ahmad memegang erat sang istri yang mengamuk, agar tidak menghentikan Akmal. Hannya masalah sekecil itu dia diusir dari rumah, keluarga yang aneh.
Akmal pergi dengan si Jagur, Ia sama sekali tak memperdulikan ucapan sang mama yang memintanya untuk jangan pergi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Halaqah Cinta
Teen Fiction"Aku mau kita putus!" teriak Karla dengan wajah keras. "Emang kapan kita jadian?" Akmal bertanya dengan begitu santai. "Eh ...." Karla melotot. "Bukannya waktu itu ...." "Gue cuman jadiin lo bahan taruhan! Baperan amat." tegas Akmal diselingi tawaan.