"Gue mau cerai! Cerai!" teriakku pada Bang Bani, setelah adu mulut. Aku menuju ke kamar.
"Oke! Kalo itu mau elu! Kita cerai! Elu, gue cerai sekarang! Cerai! Cerai! Elu bukan bini gue lagi!" Bang Bani mengikutiku.
"Gue udah muak liat muka elu! Udah capek gue hidup kek gini terus! Hidup ama elu sengsara! Kere!" Aku membalikkan badan dan sambil menunjuk mukanya. Lalu, menuju lemari, kubuang semua pakaiannya ke lantai.
"Pergi dari rumah gue!" teriakku lagi.
"Gue juga udah nggak tahan hidup ama perempuan murahan kek elu! Dasar perempuan matre! Isi otak cuma duit mulu! Sana! Hidup ama laki tua bangka itu! Yang bisa menuhi semua gaya hidup elu yang setinggi langit!" Bang Bani memunguti pakaiannya dan memasukkan dalam tas ransel hitam.
"Oo ... tentu! Dia kaya, apa pun yang gue minta dia beri! Nggak kek elu! Kere! Ngeblangsak!"
Aku terus saja membandingkan dia dengan Papi, bos tempatku bekerja, yang selama ini baik dan sangat mengerti keinginanku.
"Elu!" Bang Bani berdiri dan menghampiriku, menatap dengan mata memerah. Tak mau kalah, aku maju dan mengangkat wajah di hadapannya.
"Apa? Mau tampar? Tampar kalo berani!" Aku menyodorkan pipi. Aku yakin, Bang Bani tak berani menampar atau memukul. Karena memang selama ini, dia tak ada nyali untuk melakukan itu.
Seperti dugaanku, dia tak berani melakukannya dan kembali mengemasi pakaian yang berhamburan di lantai.
"Banci!" Dia diam saja tak membalas saat mendengar kata itu keluar dari mulutku.
Mungkin setelah ini, aku tak bisa lagi memakinya dengan sesuka hati seperti saat ini.
Aku tak peduli dengan tangisan Dio, yang berdiri di pintu. Anak lelaki yang berumur empat tahun, hasil pernikahanku dengan Bang Bani.
Dulu, Bang Bani adalah pengusaha muda yang sukses, makanya aku mau menikah dengannya.
Namun, setahun belakangan ini, kehidupan kami sungguh tragis. Bisnis Bang Bani bangkrut. Tertipu, karena kebodohannya yang terlalu percaya dengan teman bisnisnya. Semua kemewahan yang selama ini aku nikmati seketika sirna.
Satu persatu harta benda habis terjual untuk memulai usaha baru, tapi lagi-lagi di luar rencana. Tak ada satu pun usaha berjalan lancar. Bahkan rumah mewah yang kami tinggali selama lima tahun, ikut terjual. Akhirnya, pindah ke rumah peninggalan orang tuaku.
Aku bekerja sebagai waitress di sebuah diskotik . Bang Bani tidak setuju dengan pekerjaan ini. Dia ingin aku diam di rumah saja sambil mengasuh Dio. Jika ingin kerja, lebih baik kerja rumahan, jadi tukang cuci gosok dan itu bukanlah keahlianku. Bisa turun level di mata teman-temanku nanti.
Bang Bani bekerja sebagai tukang ojek di sela-sela waktunya mengurus Dio.
"Ayaahh ...." Dio memeluk Bang Bani. "Ayah jangan pergi! Dio mau ikut Ayah," isaknya.
"Bawa sekalian anak elu itu!" ucapku sambil menyilangkan tangan di dada.
"Dio mau ikut ayah atau Bunda?" tanya Bang Bani, jongkok di depan Dio.
"Ikut ama Ayah aja! Pengen liat, bisa nggak ngehidupi anak!" ucapku.
"Dio mau ikut Ayah," ucap Dio, memeluk Bang Bani sambil menangis.
"Bagus! Ikut Ayahmu sana! Bunda bukan pengangguran kek ayahmu itu!" Setelah mengatakan itu, aku pergi ke ruang tengah, duduk di kursi depan TV.
Tak lama, Bang Bani keluar dari kamar, membawa dua tas. Dio melihatku saat berjalan menuju pintu depan, dia menggandeng tangan ayahnya, tapi aku tak mempedulikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngeblangsak
General FictionRumput tetangga itu, lebih hijau dan sangat menggoda. Bukannya harus kita nikmati juga?