"Hahaha ...."
"Kok ketawa, sih, Bang!" protesku, karena dari serius mengajak nikah, lalu tiba-tiba tertawa begitu.
"Wajahmu lucu banget kalo kaget begitu."
"Ish, Abang!"
"Kenapa?"
"Sebel!"
"Sebel kenapa? Maunya serius?"
"Enggak! Sebel aja Abang ngerjain aku!"
"Iya ... iya ... maaf."
"Aduh! Sakit!" Tangannya menekan hidungku.
"Abis gemes!" Tangannya pindah ke pipiku.
Ada kelegaan tersendiri, karena dia cuma bercanda. Andai serius, tak tahu harus memberi alasan apa untuk menolak atau setidaknya mengulur waktu.
Menikah hanya untuk dikekang, tentu saja aku tak mau. Seperti menikah dengan Bang Bani dulu. Apa pun yang aku lakukan selalu salah, harus begini dan tak boleh begitu. Banyak aturan.
Jika menikah dengannya, berarti harus melepas Papi, pohon uangku, karena masih ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi dari Papi.
Entah kenapa aku tak ingin tahu siapa dia dan seperti apa kehidupan dia sebenarnya di Kalimantan sana. Selama dia bisa membahagiakanku saat ini, tak peduli siapa dia.
Aku hanya ingin bersenang-senang dan menikmati hidup.
Setelah menikmati makan malam, aku diajak Bang Sandy untuk pergi ke suatu tempat. Dia ingin menunjukan sesuatu padaku.
"Ini di mana, Bang?" tanyaku ketika berada di depan sebuah gedung tinggi.
Ini kali pertama diajaknya ke tempat lain, biasanya dia hanya mengajakku ke cafe atau restoran.
"Yok! Ntar kamu tau juga." Bang Sandy meraih tanganku dan digenggamnya, lalu membawaku masuk ke gedung, lalu naik lift ke lantai lima.
"Kita mau ke tempat siapa, Bang?" Tak ada jawaban hanya senyuman yang diberikan Bang Sandy untuk pertanyaanku itu.
Kami berdiri di sebuah pintu.
"Liat dan ingetin, ya." Bang Sandy menekan tombol angka yang tertera di atas handle pintu dan aku memperhatikan setiap gerakan jarinya, dia menekan tombol-tombol itu sebanyak delapan kali.
"Ingat?" tanyanya kemudian.
"Kosong dua kosong sembilan, ee ... empat kosong ... satu sembilan."
"Pinter." Bang Sandy mengusap pucuk kepalaku. Lalu menarik handle pintu ke bawah dan terbukalah pintu yang berwarna hitam itu.
"Masuk!"
"Ini tempat siapa, Bang?"
"Tempat kita, lah. Masuk!" Bang Sandy masuk dan aku masih diam di luar, ragu untuk masuk. Kita? Entah apa maksud dari kata itu.
"Kenapa? Ayo, Masuk! Takut?" Dia menarik tanganku. Setelah kami masuk, pintu ditutupnya.
"Nggak. Cuma kenapa aku disuruh buat ingetin sandinya?"
"Nanti, kan kamu tinggal di sini juga."
"Tinggal di sini?"
"Nggak mau?"
"Emm ... gimana, ya ...."
"Nggak mau?" Bang Sandy cemberut.
Rasanya ingin melompat karena bahagia, tapi aku tahan, tak mungkinlah menunjukkannya di hadapan Bang Sandy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngeblangsak
General FictionRumput tetangga itu, lebih hijau dan sangat menggoda. Bukannya harus kita nikmati juga?