Kabrian dan Seri

5.5K 582 96
                                    


Chapter 2

🎨


Apa gue sudah pernah cerita kalau sejujur-jujurnya dari hati yang paling dalam, gue kesal banget dengan siapapun yang tiap gue sebutin nama selalu cari modus buat dijadiin lawakan "Sri ya?" atau "SeRI.." apalagi yang paling parah itu anak Band-nya Brian sering bilang "Srrrrrrrrrrr.." ala nyawer konser dangdut yang abis itu mereka pada ketawa rame-rame.

Lucunya dimana atuh.

Gue yang sudah bosan sama nama sendiri makin dibikin kesal aja sama orang-orang ini.


Kecuali, Brian.


Satu hal yang menarik perhatian gue yang seolah menekan kontak dikepala 'Oh, dia boleh juga' pas pertama kali dikenalin sama Brian. Tapi itu bukan pertama kalinya kami ketemu.


Oke, gue akan mulai dengan cerita pertemuan pertama gue dengan Kabrian Nagata dulu.


Hari itu di semester kedua gue kuliah, tepatnya mungkin setelah 8 bulan diri ini jadi mahasiswi kedokteran dengan seperempat hati. Siang itu gue ditelfon Wanda, si soulmate gue dari bocah, yang juga kuliah disini tapi bedanya Wanda di jurusan Seni Musik (sesuai keinginan dia).


"Ser, gue lupa ngasih tau lo kemaren kalau projek pameran buat minggu depan di fakultas gue itu ternyata dibuka buat umum," suara Wanda dari telfon.


"Serius Wan?"


"Iya, tapi.. itu.. lo harus kumpulin print out atau foto-foto lukisan yang mau lo daftarin, sama sekalian satu lukisan asli lo buat dinilai seleksinya."


"Oke.. oke nggak masalah," gue langsung semangat pas dikabarin Wanda begini, tapi—


"Tapi.. pendaftarannya tutup jam 3 sore ini, I'm so sorry, seharusnya gue nggak lupa ngasih tau lo kemaren. God, I'm so stupiddddd," Wanda mulai lagi—drama menyalah-nyalahkan dirinya.


Gue lihat jam dinding ruangan di jurusan, setengah tiga.


"Yaudah, gue coba aja dulu setengah jam keburu kali kalo gue nge-gojek dari sini ke vila buat ambil lukisan dan balik ke fakultas lo," jawab gue setengah optimis karena gue benar-benar nggak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.


"Sorry banget Ser gue nggak bisa bantu ini, sebentar lagi siaran guenya."


"Iya nggak papa, gue balik dulu ke vila," kata gue sebelum matiin telpon dan ngacir keluar sambil buka aplikasi ojek online.


Kapan lagi gitu bisa daftarin lukisan ke pameran, walaupun selevel mahasiswa tapi tetap aja.. seni nggak pandang umur. Dan lukisan gue akhirnya bisa dilihat sama mata-mata seniman yang the real seniman. I'm not gonna waste that rare opportunity, dude.


Gue berhasil sampai ke vila 10 menit dari kampus, lari-lari ke ruangan yang berisi lukisan-lukisan milik gue dan Wanda. Buru-buru pencet asal tombol keyboard komputer disudut ruangan yang selalu dalam mode-sleep, dan nge-print beberapa lembar hasil foto-foto lukisan gue yang emang sudah tersimpan di komputer.


Setelahnya, gue ambil satu lukisan kesayangan dan kabur keluar vila secepat kilat. Ya nggak secepat kilat juga—pokoknya secepat yang gue bisa.


Kurang dari lima menit di dalam, gue lari lagi keluar dan balik ke kampus dengan abang gojek yang tadi gue suruh tunggu dengan iming-iming 5 kali lipat bayaran.


KabrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang