"Kita harus berhenti bertemu dengan cara seperti ini."
Jantung Hyunjin rasanya nyaris berhenti berdetak. "...kenapa, Felix?" bisiknya lirih, bibir menyapu plump lawan bicara yang gemetar, entah karena angin dingin atau atmosfer berat di sekitar mereka.
"Baba mulai curiga kenapa aku bersikeras melihat bunga-bunga setiap senja." Felix tertawa dipaksakan. "Tidak mungkin aku katakan bahwa aku ke kebun hanya untuk bertemu denganmu, kan, cinta?"
"Tidakkah kau menyayangiku?"
Sang lawan bicara tergugu, menundukkan pandang sementara jemari mungil nan lentik itu membelai wajah Hyunjin, membuat sang empunya refleks memejamkan mata syahdu. "Kau tidak boleh meragukan perasaanku," bisiknya sedih. "Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan."
Pelukan di pinggangnya mengerat, dan Felix sontak memejamkan mata. "Dunia sudah berubah, Felix."
"Dunia di sekitar kita sudah berubah, cinta. Sayangnya duniaku dan duniamu masih terikat tradisi masa lalu." Felix tersenyum sedih, mendongak untuk mengecup rahang tegas lelaki di hadapannya. "Jangan ragukan perasaanku, Hyunjin. Jangan salahkan aku. Salahkan benang-benang takdir rumit yang kejam melilit hidup kita."
Hyunjin tak melepaskan rengkuhan, pun Felix yang hanya menghela nafas dengan lengan masih mengalung di leher Hyunjin, menghembuskan nafas panas di bawah telinga pemuda itu. "Ketua Mao di ibukota—"
"Ketua Mao punya ide-ide hebat," Felix mengakui. "Tapi idenya terlalu radikal. Akan susah menerapkannya di sini, terutama dengan tradisi yang kita punya."
"Kau mendapatkan buku itu di sekolah?"
Felix menggeleng. "Guru-guru menyitanya sebelum tiba di tangan kami. Katanya buku itu akan mengkorupsi—"
"Otak-otak kecil nan polos para pewaris bangsa." Hyunjin meneruskan dengan nada bosan. "Kapan mereka akan sadar kalau kalian sudah delapan belas tahun?"
"Kau mendapatkannya?" Felix mengerjap saat pemuda itu mengangguk.
"Buku Merah. Tentu saja aku mendapatkannya. Sekolahku berisi orang-orang terpelajar, Felix. Kami didanai pemerintah. Harus kuakui, ide-ide Ketua Mao sangat cerdas."
"Idenya mengerikan."
"Cerdas, cinta." Hyunjin mengoreksi. "Bayangkan, jika kelas-kelas dihapuskan, kau dan aku ada di strata yang sama."
"Itu mengerikan! Semua orang ada di strata yang sama—tidak ada yang akan mengatur mereka, akan ada kekacauan!"
"Apakah menurutmu begitu?" Hyunjin tersenyum, mengetuk dahi Felix. "Jadi itulah yang dipikirkan para tuan muda sepertimu? Bahwa mereka yang ada di strata bawah tidak akan menuruti kalian lagi?"
Saat Felix hanya terdiam, Hyunjin melanjutkan. "Atau kau takut mereka yang ada di strata bawah membalaskan perlakuan semena-mena kalian yang berada di atas?"
"Hyunjin!" Felix mendesis. "Kau telah dikorupsi buku itu!"
"Dan kau telah dikorupsi tradisi kolot itu, cinta." Hyunjin menghela nafas lelah. "Bayangkan sebuah dunia di mana kita semua sama—kau dan aku, kita punya kesempatan yang sama untuk mewujudkan apapun—"
"APA YANG KAU PIKIR SEDANG KAU LAKUKAN, HYUNJIN?!"
Baik Hyunjin dan Felix tersentak, spontan melepaskan rengkuhan mereka saat suara menggelegar itu terdengar. Felix mengerjap sementara seorang wanita paruh baya menarik telinga Hyunjin dan memaksanya bersujud bersamanya di depan Felix.
"Maafkan kelancangan putraku, Tuan Muda. Maafkan kami, kami bersalah."
"Aku—eh," Felix berdehem. "—Hyunjin tidak bersalah."

KAMU SEDANG MEMBACA
Hireath +Hyunlix
Historical FictionIn various time and space, in every universe, we exist. [History!AU]