Berjinjit, tangan di atas kepala, berputar. Tangan di atas kepala, melompat. Ujung jari kaki menjejak lantai, melompat ringan. Membungkuk.
Felix tersenyum lebar saat applaus meriah didapatkannya, beserta lemparan beberapa tangkai mawar dan bunga matahari. Bahkan ada yang melemparkan hadiah-hadiah ke atas panggung untuknya.
"Bravo, Felix! Seperti biasa, penampilan yang hebat dari ballerino kecil kita yang tersayang, tepuk tangan!"
Suara sang pemilik kelab malam sekaligus pembawa acara untuk malam itu nyaris saja teredam dalam tepukan tangan dan suitan menyanjung untuk Felix.
Sang ballerino membungkukkan badan sekali lagi, sebelum mengundurkan diri turun dari panggung kecil tempatnya biasa menampilkan penampilannya.
Meski termasuk kecil bila dibandingkan dengan panggung-panggung teater tempat dia biasa tampil, panggung yang dibuatkan khusus oleh sang pemilik kelab untuknya tetap saja mewah dan menarik banyak pengunjung, lebih banyak daripada tempat yang bisa disediakan kelab malam itu untuk pengunjungnya, terlebih ditunjang dengan banyaknya headline surat kabar yang membahas penampilan demi penampilannya, yang digadang-gadang adalah penari paling cantik dan menjanjikan di masanya.
Felix hanya tertawa tiap kali membaca itu. Mungkin dia cantik, Felix takkan memungkiri itu. Namun menurutnya dia tak sebaik yang dikatakan banyak orang. Masih banyak ballerina dan ballerino lain di seluruh negara yang lebih baik daripadanya, dia hanya beruntung terlahir di keluarga yang mampu menyokong dan membiayai bakatnya.
"Secangkir minuman untuk merayakan malam ini?"
Felix tertawa kecil saat ia duduk di kursi kayu di depan bar, sang bartender di baliknya sudah dengan sigap menaruh segelas besar root beer kesukaannya di atas meja. "Yang ini kau yang membayariku kan, Hyunjin?"
Sang bartender hanya tersenyum, mengendikkan bahu. "Hanya kalau kau bisa menghabiskannya di bawah tiga menit."
"Kau menantangku." Felix tersenyum lebar, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dan menenggaknya dengan cepat, menelan segelas penuh minuman manis berkarbonasi itu, bersendawa keras setelahnya.
Hyunjin terbahak. "Baiklah, baiklah. Aku yang bayar, kalau begitu. Kau minum seperti orang yang kehausan selama tiga tahun dan baru mendapat minuman."
"Orang yang kehausan tiga tahun pasti sudah mati sebelum bisa mendapat minuman, bodoh." Felix berdecak. "Lagipula aku memang kehausan setelah tampil. Tambah." Dia menyodorkan gelas kosongnya.
"Terlalu banyak minum minuman bersoda tidak baik untuk perutmu, cantik." Sang bartender menarik gelas Felix dan menyimpannya di tumpukan gelas kotor lainnya, sebelum mengambil cangkir dan mengisikannya dengan air putih. "Ada penampilan lain darimu malam ini?" Dia mengangsurkan cangkir itu pada Felix.
Felix memandanginya dengan mata memicing kesal karena memberinya air putih alih-alih root beer yang diinginkannya, namun tetap memutuskan menjawab. "Tidak, yang tadi itu yang terakhir. Kau sendiri? Kelab ini tidak akan tutup sampai pagi, kan?"
"Ya, selain dirimu, ada penampilan penari lain setelah ini, tidak kalah digemari. Pasti akan ada lebih banyak pengunjung."
"Oh ya? Dan apakah itu adalah penari eksotis dari Selatan? Dengan rok rumbai-rumbai dari manik-manik dan tatapan mata jahat yang menghipnotis semua orang?" Felix menenggak air putihnya dengan geram. "Aku juga bisa menari seperti mereka, beri saja aku minum tiga gelas alkohol dan biarkan aku mabuk."
Hyunjin tersenyum. "Tarian mereka tidak seliar itu, kok. Meski tetap saja tak memiliki aturan sebanyak baletmu."
"Mereka menjual pemandangan tubuh. Aku menjual gerakan tarianku. Kami tidak sama." Felix merengut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hireath +Hyunlix
Ficción históricaIn various time and space, in every universe, we exist. [History!AU]