"Lari, lari! Sakura, bangkitlah!"
"Peoni, apa yang kau lakukan? Selamatkan dirimu!"
Felix nyaris tersandung di tengah kerusuhan tersebut. Suara jeritan dan gemeretak api yang membakar tempat tinggalnya untuk beberapa tahun terakhir itu tenggelam dalam suara derap kaki mereka yang berusaha berlari dari kesialan yang ditimpakan Tuhan pada hari itu.
"Kau pikir kau hendak ke mana?"
Felix mengerjap dan memaksa diri untuk tak menoleh saat seorang wanita yang berlari di sebelahnya disambar dengan tangan bak cakar elang mereka yang membakar tempat tinggalnya.
Dia terus berlari, sedikit menyesali betapa besarnya rumah bordil yang menaunginya beberapa tahun terakhir itu, yang kini menjadi masalah untuknya.
"Kupu-kupu kecil, jangan lari."
Felix merasa nafasnya tercerabut dari paru-parunya saat bahunya dipegang dari belakang dan dia dijatuhkan begitu saja ke tanah, tangan-tangan kasar orang-orang itu menelusuri tubuhnya sebelum mengikat kedua tangannya.
"Bajak laut sialan, menyingkir dariku!"
Sakit, Felix spontan memejamkan mata saat salah satu dari mereka menamparnya. Air matanya tanpa disadari bercucuran, efek dari kerasnya tamparan itu.
Salah satu dari kumpulan perompak yang menjarah dan menghancurkan rumah bordil tempat ia tinggal itu dengan mudah mengangkat tubuh kecil Felix dan membawanya naik ke anjungan kapal mereka, menjajarkannya bersama banyak teman-temannya yang juga bernasib kurang beruntung dan tertangkap.
Mereka dipaksa berlutut entah untuk berapa lama, menyaksikan satu demi satu teman-teman lain yang tertangkap dinaikkan ke kapal, beberapa perompak membawa naik perhiasan yang sudah pasti hasil jarahan mereka.
"Kita berangkat sekarang, kapten?"
"Tunggu."
Seorang lelaki tinggi besar yang berpakaian lebih mewah daripada para perompak yang lain mengelilingi mereka yang tertangkap, tangan mengelus-elus dagunya yang berjenggot seakan sedang berpikir keras.
"Buang yang ini, ini, dan ini." Dia menunjuk beberapa orang yang berlutut. "Mereka jelek."
Felix mendengus, semua teman-temannya adalah bunga terbaik di tempat pelacuran, bagaimana bisa dia berkata mereka jelek? Terlebih bagaimana bisa dia berkata begitu saat wajahnya sendiri seperti itu?
Ketiga orang yang diperintahkan untuk dibuang itu dijatuhkan dari atas kapal ke lautan lepas. Tapi mereka beruntung, dermaga hanya berjarak beberapa puluh meter, jika mereka kuat berenang ke tepian, mereka akan selamat.
Felix lebih khawatir pada nasibnya sendiri, karena sekarang sang kapten kapal memandanginya lekat.
"Aku mau yang ini." Dia menunjuk Felix yang tercekat. "Yang lain bisa kalian gunakan untuk kalian sendiri."
Para anak buah kapalnya berseru riang, masing-masing menarik seseorang untuk berdiri. Beberapa dari mereka bertengkar satu sama lain karena menginginkan tawanan yang sama. Hanya satu orang di antara para anak buah kapal yang nampaknya tak ikut dalam keributan itu. Dia hanya berdiri di samping tiang layar dan memandangi semua yang terjadi dengan tatapan bosan.
Para anak buah kapal itu jelas menginginkannya, bertahun-tahun di tempat pelacuran membuat Felix bisa memahami tatapan kelaparan yang sering ditujukan padanya. Namun mereka jelas menghormati-atau takut-pada sang kapten, karena tak ada satupun yang bahkan mendekatinya.
Felix menangkap tatapan satu-satunya anak buah kapal yang tak ikut memilih para tawanan untuk dijadikan hak milik, menyadari pemuda itu memperhatikannya dengan ekspresi aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hireath +Hyunlix
Ficción históricaIn various time and space, in every universe, we exist. [History!AU]