Siang yang terik ditambah bau alkohol yang menguar dari mana-mana alih-alih bau keringat berhasil membuat Felix pening.
Mengepit hidung dengan jari untuk menghindari bau menusuk itu, dia melanjutkan rutinitas yang juga dilakukan banyak lelaki dan perempuan lain yang setenda dengannya.
Basuh, usap, sterilkan.
Felix menghela nafas lelah, berhenti berusaha menggosok-gosok kulitnya hingga nyaris mengelupas. Jijik pada diri sendiri dan pada pilihannya. Jijik pada keadaan sekelilingnya. Jijik pada pasukan koloni yang menyengsarakan kehidupannya dan ribuan orang lain di negara itu.
"Tersenyumlah sedikit, tuan muda. Tidak ada yang menyukai bunga yang berwajah masam seperti itu. Sia-sia saja matamu yang manis itu."
Felix memaksa diri dan berhasil mengulas senyum kecil tak meyakinkan pada wanita yang menyenggol bahunya. "Tersenyum? Di keadaan seperti ini? Aku bahkan sudah lupa rasanya tersenyum, Nancy."
Gadis itu tersenyum lebar dengan bibir merahnya yang cantik, mengambil alih kain beralkohol dari lengan Felix dan menyuruhnya berbalik memunggunginya. "Kita harus belajar menikmati semua hal yang kita dapatkan, Felix."
Pemuda itu mendengus. "Termasuk ditiduri oleh tentara seumuran ayahmu?"
"Hmm," Gadis itu berdehem mengiyakan, dengan lembut menutulkan kain beralkohol pada memar merah kebiruan di punggung Felix. "Orang-orang ini takkan pernah sadar bahwa kita juga manusia, bukan sekedar benda mati untuk melampiaskan nafsu dan amarah, kan? Jika tak bisa kau lawan, nikmati saja."
Felix memejamkan mata dengan kening mengernyit. "Aku hanya ke sini untuk uang. Karena kalau aku tidak begini, adik-adikku akan mati kelaparan. Dan—" Dia melirik sekilas ke bagian lain tenda dan buru-buru mengalihkan pandang.
Nancy yang menyadari lirikannya mengikuti arah pandang itu. "Pasti sakit sekali untukmu, ya. Harus berpura-pura tidak mengenalnya di sini."
"Aku melihat ibuku ditiduri tentara Prancis dan kembali dengan wajah berseri setelah mendapatkan uang untuk makan kami, bagaimana caranya mengebaskan rasa sakit ini?"
Nancy mengelus punggungnya halus. Di rumah bordil itu, hanya gadis itu yang dekat dengannya. Mereka semua sebenarnya bersimpati pada satu sama lain di sana, namun bahkan kasih sayang paling dalam pun akan melentur saat perut kosong menjerit kelaparan. Hanya Nancy yang bersedia merengkuhnya saat mereka sama-sama kelaparan jika tidak mendapat uang untuk sisa hari itu.
"Bahkan setelah ibuku turun ke pelacuran pun adik-adikku tetap tak bisa makan tiga kali sehari kalau aku tidak ikut bekerja di sini."
"Aku mengerti, Felix. Aku mengerti." Nancy menepuk-nepuk punggungnya. "Kau mau tahu sesuatu? Beberapa orang diberkahi harta dan kedudukan yang membuat mereka aman dalam keadaan seperti ini. Beberapa seperti kita diberkahi otot dan tulang yang kuat untuk berusaha sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hireath +Hyunlix
Ficción históricaIn various time and space, in every universe, we exist. [History!AU]