Revisi Bagian 1

3 1 0
                                    

“Semesta memang pengendali takdir yang handal, beribu kebaikan dan keburukan telah ia rangkum dalam syair kehidupan yang menjadi pedoman. Tidak perlu merasa iri dengan makhluk yang lain. Bahagia mereka milik mereka, sedang bahagiamu itu milikmu.”
***

Seperti pagi-pagi sebelumnya, tepat pukul 05.00 aku selalu terbangun. Mengintip matahari dari balik jendela dan menghirup aroma khas tanah di pagi hari merupakan anugerah dari semesta yang patut disyukuri.

Langkahku tertuju ke dapur, membuat secangkir coklat hangat dan sandwich roti panggang. Jangan bertanya mengapa aku menyiapkan ini sendiri, tapi nampaknya mudah saja bagiku untuk menceritakannya.

Namaku, Maliqa Martadinata aku adalah putri semata wayang dari keluarga Martadinata pemilik toko bunga terbesar pada zamannya. Ayah dan Ibuku, entah kemana perginya, mereka menghilang tepat setelah penyerangan dari kaum kumbang di rumah kami. Pada saat itu, aku baru berumur 5 tahun, ayah dan ibu memberikanku liontin berbentuk jam yang di tengahnya terdapat kristal berwarna hijau mint.

“Sayang, jagalah dirimu dan jagalah mereka (para bunga). Tunjukkan liontin ini pada mereka setelah kau cukup dewasa dan mereka akan memberi kebahagiaan untukmu.”

Tepat saat ayah dan ibu mengatakan itu, para kumbang datang kemudian ayah mengantarku untuk keluar lewat pintu belakang. Pelukan terakhir yang begitu memilukan bagiku, aku pun berlari sekuat yang aku bisa menuju toko bunga.

Seolah semesta telah merencanakan semuanya, bunga Tulip telah menyambutku di depan toko kemudian mereka menutupi seluruh bagian dari toko sehingga mereka mengira bahwa toko kami tidak ada penghuninya. Aku dibawa para bunga ke ruang bawah tanah untuk persembunyian. Menakjubkan, pertama kalinya mataku melihat pemandangan yang begitu luar biasa, ruang bawah tanah ini dibuat begitu sempurna. Cahaya masuk dari atap toko yang sengaja dibuat lubang kecil yang ditutupi kaca agar sinar matahari bisa masuk kesana,  padang rumput berwarna hijau yang begitu luas, pepohonan yang rimbun dan ada aliran sungai di sampingnya yang begitu jernih, banyak sekali bunga yang tinggal disana.
Bunga Tulip pun memperkenalkanku pada semuanya, ada bunga Matahari, Widuri, Edelweis, Daisy, Mawar, Anggrek, Melati, Raflesia, dan para bunga lainnya.

Pada hari itu, aku seolah dihadapkan pada dua pilihan hidup yaitu bahagia atau sedih. Bisa saja aku menolak untuk meninggalkan ayah ibu, namun tidak, mereka yang malah mengantarkanku untuk menjemput kebahagiaan di masa depan, meskipun mereka tahu bahagia sifatnya sementara tidak peduli mau atau tidak semesta yang akan selalu menjadi dalangnya.

MaliqaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang