Chap 3 : Masalah.

82 32 25
                                    

Calla sedang berjalan di koridor sekolah. Dia mengamati semuanya.

Tiba di kelas, Calla langsung duduk ditempatnya menghiraukan sapaan Devano.

Guru mulai memasuki kelas dan memulai pelajaran.

****

Kring.. Kring...

Akhirnya, jam istirahat tiba. Calla mengambil peralatan menggambarnya lalu berjalan menuju kantin.

Dia lebih memilih duduk sendirian, di kursi panjang sekalipun.

Calla mengangkat tangannya. "Bu, es teh nya satu yaa."

Ibu kantin itu mengacungkan jempolnya. "Siap."

Lima menit berlalu, ibu kantin datang membawakan es teh. "Ini pesanannya," ucapnya.

"Makasih."

Calla mulai meminum, sambil menggambar. Ia menggambar ... tak tahu. Dia hanya mencoba memberikan imajinasinya ke kertas itu.

Devano datang dari arah belakang sambil menepuk pundak Calla. "Teh, saya numpang makan disini, boleh?"

Calla menoleh. Devano duduk disebelah Calla. Padahal, Calla belum mengiyakan.

Menyebalkan.

Devano membuka satu persatu rantang makanan yang ia bawa. "Ini ada sambal terasi, ayam goreng, tempe, tahu, nasi sama kerak telor," ucapnya.

Calla diam tidak memperhatikan omongan Devano. Dia lebih fokus ke gambarnya. Bahkan, kerak telor sekalipun. Akan tetapi rasanya Calla tergoda dengan harum nya.

Devano tidak menawarkan makanan itu kepada Calla. Dia memakan seperti sedang orang kelaparan.

Calla tergiur dengan makanannya. Dia memberanikan diri, "Devano, boleh minta gak?"

Devano mengangguk disela-sela makannya. "Ini teh, saya punya rantang nasi satu lagi," ucapnya sambil menyodorkan rantang makanan.

"Emm, makasih ya."

"Iya, sama-sama. Sok atuh dimakan makannya."

Mereka mulai menyantap makanannya dengan khidmat.

****

Devano dan Calla sedang berjalan di koridor sekolah. Katanya, Devano ingin diantar Calla melihat-lihat bagian sekolah. Calla yang tak enak menolak ajakannya hanya pasrah saja.

Tapi, sedari tadi Devano mengoceh panjang kali lebar. Calla hanya diam dan sesekali menjawab singkat, seperti tidak tertarik dengan obrolan.

"Teh, kok diam aja sih," ucap Devano berusaha mencairkan suasana.

"Gak."

Jawabnya terlalu singkat, padat dan dingin. Devano bungkam, tidak ingin membicarakan apapun lagi.

Karna, percuma.

Calla hanya akan menjawab "Ya" dan "Gak". Mereka hanya berkeliling sekolah, tanpa ada yang bertanya ataupun menjelaskan.

Di pinggir taman. Ada segerombolan cewek yang sedang ghibah, mungkin.

Parahnya lagi, mereka sedang membicarakan Calla.

"Eh, si Calla itu aneh ya?" Ucapnya dengan suara kecil.

Ya, tetap saja Calla mendengarnya. Ia berusaha menahan gejolak amarahnya.

Sabar, Calla.

Cewek yang lain ikut bicara. "Aneh gimana?" tanyanya. Mungkin, karna dia tak sekelas dengan Calla.

Cewek tadi yang mulai pembicaraan menjelaskan, "Sering bengong, gambar gak jelas ... pokoknya aneh deh."

Devano juga mendengar pembicaraan segerombolan itu. Ia mengelus-elus pundak Calla untuk sekedar meredakan amarahnya.

Calla menepis kasar tangannya, ia berjalan menuju gerombolan tadi.

"Kalian tadi ngomongin saya?" ucap Calla dingin.

Gerombolan cewek itu saling tatap lalu dengan ragu menggeleng.

"Bohong," bentak Calla.

Sekarang, taman sudah menjadi ramai. Berkat bentakan Calla tadi, semua siswa-siswi datang menghampiri asal suara.

Cewek yang tadi berkata tergagap-gagap. "Eng ... enggak kok." tuturnya bohong.

Plakk

"Akhh," ringis cewek itu.

Calla hanya menampar cewek itu, karna dia lah yang memulai pembicaraan tentangnya.

Devano diam tidak berkutik, ia syok dengan sikap Calla.

Suara bariton memecahkan pertengkaran. "Diam."

Ternyata, itu suara Pak Wakpesek. "Ikut ke ruangan saya."

Calla, Devano, dan gerombolan cewek tadi mengikuti arahan Pak Wakepsek.

Calla bergumam, "Masalah ... lagi."

****

TBC.

Jangan lupa vomment.

DEVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang