Ruangan bernuansa putih dengan hawa dingin yang menyelimuti. Seperti inilah ruang BP, penuh dengan aura yang mencekam.
Suara bariton memecahkan keheningan. "Kenapa kamu menampar Raisa?" tanyanya penuh penekanan.
Sejauh ini, Calla baru tahu kalau cewek yang ditamparnya ini bernama Raisa. Maklumi saja, Calla memang anak yang anti sosial atau biasa disebut ansos.
Devano dan dayang-dayang Raisa sedang berada diluar ruangan ini. Karna, Pak Yahya tidak menginjinkan mereka masuk.
Calla melirik Raisa dari ekor matanya. "Cih."
Calla melihat Raisa sedang menangis tersedu-sedu sambil memegangi pipi bekas tamparannya itu.
Calla menarik napas. "Raisa duluan Pak, dia ngomongin saya yang enggak-enggak," ujarnya.
Raisa mendongak dia berniat menjelaskan kebohongan. "Bukan sa–––"
"Bohong Pak!" Calla memotong ucapan Raisa. Dia sudah tau bahwa; Raisa pasti mau berbohong. Raisa mengelap kasar air matanya lalu beralih menatap Calla tajam.
Pak Yahya menghela napas kasar. "Siapa yang duluan?"
Calla dan Raisa saling menunjuk satu sama lain. Pak Yahya tertawa sejenak, mereka seperti anak kecil.
Calla dan Raisa menyadari bahwa mereka menunjuk bebarengan langsung menurunkan jarinya.
Calla menjelaskan semuanya ke Pak Yahya. Raisa menunduk pertanda takut. Pak Yahya setia mendengarkan cerita Calla.
"Jadi gitu Pak ceritanya."
Pak Yahya menatap Raisa kesal. "Benar itu, Raisa?"
Raisa mengangguk tanda membenarkan. "Calla, kamu masuk ke kelas dulu. Soal Raisa biar saya yang urus."
"Baik pak"
****
Devano berdiri dari tempat duduknya. Sedari tadi, dia memikirkan Calla.
"Calla, kata guru tadi apa?"
Maklum saja, Devano baru dua hari bersekolah di sini. Jadi, masih wajar jika dia tidak mengenal guru-guru.
Calla menghela napas, "Katanya Raisa biar Pak Yahya yang ngurus," tuturnya.
Entah dari dorongan mana, rasanya Calla selalu ingin jujur jika berbicara dengan cowok yang satu ini. Devano.
Devano mengangguk, "Oh."
Calla celingak-celinguk ke arah kanan dan kiri. Sedari tadi dia mencari teman-temannya Raisa. "Temen-temennya Raisa mana?" tanyanya.
Devano menggaruk tengkuknya walaupun tidak gatal. "Gatau Cal."
Calla mengangguk, "Yaudah ayo!"
"Ini yang aku takutkan jika berteman; dia akan pergi jika aku sedang butuh. Fake."
****
Calla dan Devano sedang duduk di depan halte menunggu bus. Mereka sedang larut dengan pikirannya masing-masing.
Calla dengan imajinasi lukisannya sedangkan Devano dengan lukisan Calla. Intinya mereka sama-sama memikirkan hal yang sama; lukisan.
Devano mendapatkan ide, dia mengambil bebarapa kertas dari tasnya.
Devano menyodorkan ke Calla, "Ini teh." Selembar kertas sketsa itu diberi ke Calla.
Calla mengernyitkan dahi bingung. "Lo ... dapet dari mana?" tanyanya. Setau Calla, dia selalu membuang hasil sketsa nya di tempat sampah. Tapi mengapa bisa ada ditangan Devano?
"Saya teh selalu ngumpulin hasil gambar teteh. Semua gambarnya bagus kok teh. Kenapa dibuang?" Devano tak habis pikir, mengapa gambar-gambar itu dibuang. Padahal, bisa dibilang itu cukup bagus.
Calla terkejut, "Lo tadi bilang apa? Gambar gue bagus?" Dia berhambur ke pelukan Devano.
Devano terkejut, mengapa jantungnya ini berdetak sangat cepat. Padahal, dia tidak memiliki riwayat jantung.
Besok gue mau periksa ke dokter takutnya sakit jantung beneran, pikirnya.
Calla melepas pelukannya dari Devano. Dia merasa pipinya yang merah itu sudah seperti buah tomat yang tercebur kekolam jus stoberi.
Calla merasa malu dengan sikapnya tadi itu. "Devano, gue tadi refleks. Soalnya baru lo orang kedua yang bilang gambar gue bagus selain Papa," ungkapnya sembari mengingat Papanya.
Devano yang peka terhadap perasaan Calla hanya mengelus pundak Calla berusaha menenangkan.
"Perasaan apa ini? Kenapa kalau di dekatnya jantung ku berdetak lebih cepat dari biasanya."
----------------
Tbc.
Jangan lupa vote dan comment.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVANO
Roman pour AdolescentsCover by @HunYoel Semua orang mudah mengatakan "Cinta", karena mudah diucapkan. Daripada percaya apa yang kamu dengar, lebih baik percaya apa yang kamu rasakan.