Eunhyo tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan menetap di kota ini, bahkan seandainya jika ia diberi kesempatan untuk menjadi pemenang dari segala kegilaan yang disimpan kota, nyatanya ia tetap tak akan pernah terjunkan dirinya untuk menatapi seluruh desain lokasi yang ibunya rancang secara nyata. Bukan, ini jelas bukan tentang seberapa besar porsi pecundang yang dikandung pikirannya, Eunhyo tidak takut untuk menjadi petarung, tetapi jelas ini jugalah bukan apa yang ingin ia lakukan dalam usianya yang masih 19 tahun.
Oh, ayolah, tidak hanya kedengarannya, sebab kelihatannya berkencan akan terlihat lebih memuaskan ketimbang berjelajah dalam kota wafat hanya untuk mencari makanan sisa. Seperti apa yang Kara tunjukkan kini padanya, Eunhyo sama sekali tidak paham bagaimana seluruh manusia yang berada di sini dapat hidup dengan begitu tenang? Dengan minim makanan?
"Makanan untuk hari ini." Kara angkat tinggi-tinggi bungkus camilan yang mengempis lalu melemparkannya pada Eunhyo yang lantas ditangkap sempurna. Gadis itu mengecek sejenak, rupanya memang tak punya pilihan untuk santap segala hal yang amertanya telah kehilangan masa untuk layak. Kini, seluruh hal yang kadaluwarsa telah belajar mendekam sempurna dalam perut-perut kecil mereka.
Oh, Mom, ini tidak baik.
"Kau tidak diberi pilihan, kau tahu sekeras apa tuntutannya untuk hidup di sini. Aku juga tidak ingin memberimu contoh, makan itu atau tidak ada jatah untuk hari ini."
Mereka keluar setelah injaki seluruh anak tangga yang lecetnya di mana-mana, ada bagian lantai yang retak, serta jendela-jendela yang ditinggal hancur oleh kaca, Eunyo memperhatikan sekali lagi, bangunan E-8 ini masih termasuk dalam sistem yang ia baca dalam permainan yang ibunya rancang, lalu apa yang aneh dengan penjelasannya kemarin pada Jungkook? Seolah mulutnya hanya muntahkan kalimat bual yang busuknya kalahi mayat B'lumimouse yang tak sengaja ia temukan di kolong meja ketika mencari makanan dalam tiap sudut bangunan.
"Aku pikir kau mempercayaiku." Eunhyo lantas pekikkan suara ketika Kara mulai tertinggal lumayan jauh dengannya. Membuka bungkus camilan, serta mulai mengunyah isinya yang mirip sekali dengan rasa sabun beraroma jeruk yang tak sengaja ia gigit ketika kecil.
Di depan sana, Kara hanya bergumam sebentar, menerobos pintu yang daunnya memang telah lenyap tanpa sisa. Sekali lagi panas sengat kulit dengan eksesif yang luar biasa, Eunhyo tidak menyayangkan kulitnya yang terbakar, sebab yang ada dalam kepalanya hanya tentang bagaimana caranya ia dapat keluar?
"Tentu saja aku tidak percaya, bahkan tak akan ada orang yang mempercayaimu. Tidak satupun."
"Atas alasan apa? Apa kalian bahkan tak pernah mencoba masuk pada distrik yang kusebut kemarin?"
"Oh, ayolah, Hyo. Sistem dalam kepalamu perlu diperbarui, sebab semua distrik yang kau sebut sudah berubah sejak lama. Distrik KT4? QN6? Kau bicara kuno sekali. Distrik itu dikenal 12 tahun lalu, sekarang keduanya telah berubah menjadi GLW dan Jimplace. Aku mengerti mengapa Jungkook sekesal itu padamu, kau kuno?"
Pada saat keduanya beralih pada arah barat dan mulai berjalan lebih cepat sebab matahari kelihatan akan tenggelam lebih cepat, Eunhyo memikirkan berulang kali apa yang Kara katakan padanya tepat di depan selasar sebuah gedung—yang awalnya mungkin pencakar langit—runtuh menjadi dua lantai tak utuh. Serdak pada trotoar retak di bawah kaki mereka semakin menebalkan presensi, ada yang terus berkejaran dalam kepala Eunyo, alih-alih mengganti celana dalam yang tak sempat ia biarkan kering kemudian ia pakai kembali, sekarang ia menjadi teringat bahwa ada yang ia lupakan di sini.
Sebenarnya, Eunhyo tidak mengenal nama-nama tempat yang Kara sebutkan, sebab dalam apa yang ia ingat, seharusnya KT4 dan QN6 masih masuk dalam sistem permainan mengingat bahwa ialah yang mengusulkan nama itu pada sang ibu dulu. Kapan segalanya berubah?
"Aku bahkan belum mengerti dengan maksudmu dua belas tahun lalu, kau sudah di sini selama itu? Apa kota ini dulunya hidup?"
Eunhyo ikut stagnan di atas langkahnya, memperhatikan Kara yang mendadak termenung selama beberapa saat di antara satu kaki yang jejak tanah serta kaki lainnya yang menapak aspal. Ada jeda selama beberapa detik sebelum akhirnya Kara mau menjawab dengan ragu, "Barangkali begitu?"
Eunhyo mengejar, "Kau kelihatan tidak yakin dengan itu. Apa kau terlahir di tempat ini?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Aku tidak tahu."
Angin yang tabrak tubuh mereka saat itu mulai membawa indikasi senja yang mendadak dan bawa hawa dingin yang lebih hebat dari biasanya. Mungkin Kara paham apa artinya, tetapi Eunhyo jelas kebingungan mengartikan apa maksud langkah kaki Kara yang tiba-tiba berubah pesat. Kini mereka nyaris setengah berlari di antara embus rendah yang masih cumbui tiap jengkal tubuh mereka. Apakah ini pertanda buruk? Lagi? Dan Eunhyo tidak tahu?
Sekarang, Eunhyo menjadi lebih penasaran lagi, apa yang ia lupakan sebelum tiba di sini? Atau bagian permainan mana yang ia lupakan? Bukankah ia jutaan kali telah menang lewat ponselnya?
"Mau kau jawab pertanyaanku yang lain?" tanya Eunhyo yang kini tiba-tiba merinding mengetahui rahang Kara menjadi lebih keras dari biasa.
Gadis kurus di depannya menoleh kemudian sungging senyum miring yang kelihatan lebih seram daripada saat Jungkook berikan kurva itu untuk dirinya, "Yes, girl. Kau akan mendapatkan apa pun isi kepalaku setelah tiba di persembunyian. Untuk sekarang, kita perlu adu kecepatan sebelum mati di tengah jalan."
Hal yang tak pernah masuk lagi dalam kepalanya adalah berlari dengan kecepatan yang kurang ajar sekali, ia memompa seluruh tenaga untuk mengejar Kara yang gesit bukan main. Suara benturan sepatu keduanya saling sahut di antara kesunyian kota, berdua, susuri jalanan yang mulai rusak dan gedung-gedung yang tak punyai kelengkapan tetapi terlihat lebih estetis.
"Boleh aku bertanya kenapa kita harus berlari?" teriak Eunhyo saingi deru napas yang ingin lepas dan tak mau masuk lagi dalam parunya.
"Lihat langitnya, Sayang!"
Gadis itu mengikuti teriakan Kara, menoleh ke angkasa dan temukan gelap parsial di sana. Oh, Shit! Ini tidak ia lupakan dari ingatannya, Eunhyo tahu bahwa apa pun yang kini harus dihadapinya tidak akan membiarkan dirinya hidup dalam kapasitas yang panjang. Sesuatu yang membuatnya kalah secara beruntun dalam permainan ponselnya dulu, kematian yang membuat tokoh pilihannya kehilangan gerak dalam satu kali sengat.
Ia tak kenal hawanya sebab ia tak pernah merasakan lewat perasa, Eunhyo hanya pemain yang mengandalkan jari dan kefokusan. Lihat sekarang? Dirinya bahkan tak kenali indikasi-indikasi yang sapa daksa mungilnya. Bagaimana bisa ia tak memikirkan kematian saat embus dingin itu belai tubuhnya? Serta, bagaimana ia tak curiga ketika Kara mulai mengumpat berulang kali mengingat jarak antara mereka dan tempat persembunyian semakin terasa jauh?
Langitnya, udaranya, serta ketakutan yang nyata kini membuat Eunhyo ingin memacu kaki lebih giat daripada detak jantung yang bertalu menyakiti rusuk. Ia pandangi punggung Kara yang mulai gelisah dalam pelarian, lantas terkekeh sendiri seperti orang sinting dan bergumam tipis, "Ya, selamat datang Black Storm. Dan selamat menguasai kota hewan keparat!"
Tentu saja, Eunhyo tahu hewan apa yang paling suka kegelapan di antara yang tergelap. Ini akan menjadi perjalanan hidup paling gila.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
PROBLEMS; EMPTY ONE
FanfictionJungkook dalam konteks kehidupan yang mati. ©Elderwrite 05 Sept 2k19