Tungkainya terasa berat atau itu disebabkan oleh dadanya yang tiba-tiba terasa lebih kecil dan sempit. Eunhyo mengangkat paksa dua tungkainya untuk memijak lebih jauh, untuk menciptakan bekas sepatu lebih banyak walau tak kasat. Di depannya kara menunggu dengan wajah gelisah bukan main, gelap di belakang mereka mulai makan habis sisa biru di angkasa sana. Bagus, pikirnya. Setidaknya Eunhyo dapat mati dengan begitu penuh dendam pada ibunya sendiri, dan itu rasanya sanga tbaik sekali dalam otaknya yang sempit dan panik.
Kedunya memutuskan untuk menyelamatkan diri dengan bersembunyi dalam sebuah bangunan yang lebih dari parsial materialnya telah runtuh mencumbu tanah yang kering dan haus. Bukan pilihan yang bijksana untuk misi penyelamatan diri mengingat bahwa barangkali mereka tak akan pernah menemukan penerangan apa pun di dalam sana. Tidak pernah ada baik di balik gelap yang kini memburu di belakang sana. Tolong percayalah, pilihannya hanya ada dua; dapat lentera atau mati.
"Ke arah sini. Hyo, sebaiknya kau jangan menjaga jarak denganku. Tidak baik memang mengatai orang dalam kondisi sial begini, tetapi aku serius bahwa otak dan kebodohanmu akan sangat meghambat sekali jika kau punya untuk tidak mati." Suara Kara terdengar di antara sengal yang lahir sebagai indikasi sesak dan asma parokial.
Eunhyo juga hanya mengikuti tanpa banyak bicara, tenggorokannya kemarau luar biasa, dan parunya nyaris tanpa udara. Yang gadis tersebut lakukan hanya mengekori jejak Kara yang mulai mencari lorong di antara skrin-skrin yang cacat luar biasa. Dia menuntun dirinya untuk tertimbun lebih jauh dalam bilik-bilik yang jelas sekali sudah tak utuh. Mereka mencoba peruntungan nyawa di antara konter serta daun-daun pintu lift yang rusak bukan main. Dalam pikirannya, Eunhyo pikir Kara akan membawanya pada sebuah kamar yang terlihat menyeramkan pada ujung lorong. Namun dia membelok langkah menuju deret-deret kursi panjang tanpa punggung dan lengan, menarik tangannya pada tengah ruang yang luas kemudian meringkuk dalam sengal di balik tiang.
"Tolong katakan bahwa kau akan menyelamatkanku, Ra. Apa pun yang terjadi." Eunhyo putus asa.
"Aku ini manusia yang merdeka. Jangan membuatku menjadi babu atas nyawa seseorang,. Jadilah pandai dan berani. Atau tidak hanya Jungkook, tetapi aku juga akan benar-benar menolak hidupmu."
Eunhyo bukan hanya ditampar, tetapi juga dipaksa tersadar bahwa hidup di kota ini tak pernah mengandalkan empati dan kasihan. Mereka semua punya ambisi unttuk hidup masing-masing, "Aku tak hidup dengan apa pun yang tanpa fungsi." Mungkin seperti itulah kalimat yang pernah Jungkook berikan padanya, dan memang seharusnya ia telah mengubah pola pikirnya sejak kali pertama membuka mata di tempat ini. Dia harus mandiri.
Keduanya lantas mengusaikan dialog tepat pada saat suara petir mencuri lokasi dalam alat rungu mereka. Menyusul kemudian, derak-derak kayu yang digeser paksa dari tempatnya serta kepak sayap yang terlipat.
Ah, ini dia. Si Elang sialan yang akan menghidupkan semua rambut halus di tengkuk dan lengan.
Eunhyo menajamkan pandangan, mematri sekeliling dengan picingan yang runcing. Barulah ia sadar di mana posisi mereka sekarang. Ini adalah bekas bandara, dan mereka tengah berada tepat di boarding room yang luas. Ada begitu banyak kursi yang tampaknya masih begitu layak pakai, semuanya terlihat sangat keseian dilihat dari segala hal. Namun ia sadar bahwa setidaknya besi berkarat tersebut terlihat lebih tenag dan tak risau mati seperti dirinya. Betapa beruntungnya mereka yang tak dikaruniai takut dan rasa sakit.
Ada decit di dekat keduanya, disusul suara geraman kecil yang terdengar tak begitu jauh dari posisi mereka. Tak lagi memperhatikan bagaimana bulu-bulu di semua kulit menjadi lebih siaga dari semua posisi, kini yang ada dalam pikiran Eunhyo hanya sebuah bayang samar yang mendekat lebih dekat pada posisinya. Kara memberi instruksi untuk tidak bergerak, dan tanpa dikomandopun, Eunhyo bahkan telah lebih dulu menahan napasnya.
Belum. Sayangnya Eunhyo telah lebih dulu menangkap hewan itu dibanding gerak refleks Kara ketika menutup mata serta membungkam mulutnya menggunakan tangannya yang kasar dan kotor. Ada dua sayap terangkat separuh, serta paruh burung yang melebihi ukuran biasanya. Itu sungguhan. Dia mirip elang, tetapi memiliki tubuh yang sulit sekali masuk nalar. Memiliki bentuk badan yang besar berukuran kira-kira dua meter, terlihat lebih banyak tulang. Eunhyo menganggapnya seekor burung, tetapi tak ada bulu apa pun pada tubuhnya. Didesain dengan sangat sempurna dan menyeramkan luar biasa, kurus dan mematikan, terbang cepat dan menerkam, hidup dalam kegelapan. Eunhyo perlu memberi penghargaan pada ibunya sebelum mati.
"Jangan berpikir untuk berteriak, Sialan. Kalau ingin mati, setidaknya berikan aku kesempatan dulu untuk lari," bisik Kara tajam.
Eunhyo memberikan tatapan menyesal saat itu juga. Menggunakan kesempatan diamnya untuk menenangkan diri selagi Kara menggunakan waktunya untuk mencuri pandang pada semua tempat. Menelisik dengan cermat sebelum menarik kembali kepalanya untuk kembali ikut bersembunyi di balik tiang.
"Totalnya ada tujuh. Dua di atas konter, empat di arah jam tiga, dan satu tepat di belakang kita." Kara tiba-tiba bicara. "Dengar, ada dua jenis elang yang berada dalam ruangan ini. NBS versi 1 dan NBS versi 2. Sebisa mungkin jangan menarik perhatian mereka dengan menimbulkan suara. Mereka punya kelemahan pada matanya, jadi jika dalam pelarian kita nanti kau tiba-tiba di serang, kau harus-"
Tak ada halangan bagi Eunhyo untuk tidak berteriak tepat ketika satu sosok NBS muncul dari balik punggung gadisberambut merah kemudian menyeretnya menjauh dengan brutal. Kara jelas menjerit, dan Eunhyo yang lekas menarik diri untuk berdiri. Dia keluar, mengejar Kara yang terbang landas dari jendela yang luas, kemudian dilempar jatuh ke arah lokasi pendaratan pesawat.
"Kara!!"
Bahkan walaupun ia tak melantingkan suara demi memanggil Kara di bawah sana. Eunhyo tahu bahwa enam ekor elang yang kini berada dalam ruang yang sama dengannya telah mengalihkan perhatian sejak tadi.
Dia dan Kara akan mati. Itu jelas.
Kemudian ia tak lagi dapat berbuat apa pun ketika sesuatu menarik jaket kulitnya, menyeretnya dengan brutal kemudian beberapa kepakan sayap mendekat dengan cepat. Ini akan menjadi akhir jika saja Eunhyo tidak mendengar teriakan nyaring berasal dari luar gedung, dan itu adalah milik Kara.
"TUSUK MATANYA, BUAT MEREKA BUTA!"
Kemudian tak ada lagi yang memasuki telinganya selain suara mulut-mulut si elang yang sibuk mencabik kaki serta bahunya.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
PROBLEMS; EMPTY ONE
FanficJungkook dalam konteks kehidupan yang mati. ©Elderwrite 05 Sept 2k19