14

9 3 0
                                    

Nana menghela nafas berat, dalam pikirannya berputar bagai kaset rusak ucapan Pak Abin kepadanya siang tadi. Ingin dia memaki pria tersebut, namun menyadari dirinya yang saat itu berada diruang guru dan resiko namanya bisa saja di black list para guru, dia menahannya. Untung Yandra datang sebelum dia sempat kelepasan. Yang benar saja, dia tidak sehina itu.

"Ya ampun Nana!!! Itu lo ngapain heh? Mau buat tempat ini kebanjiran?"

Teriakan yang cetar membahana itu sukses mengejutkan Nana. Bergegas dia mematikan keran air yang airnya sudah melimpah dan menggenang dimana-mana. Ternyata saking asiknya memikirkan kejadian siang tadi, dia sampai melamun. Berterima kasih pada rekan kerjanya ini yang sudah menyadarkannya sebelum cafe tempatnya mencari nafkah itu benar-benar kebanjiran.

"Eh iya Ni, makasih." lalu tanpa berkata apapun lagi, Nana pergi meninggalkan Hani yang keheranan melihat tingkah gadis itu.

Nana merutuki kebodohannya tadi, "Hufft! Ini gara-gara Babin sialan itu."

"Kenapa lo? Dari tadi gue perhatiin kayak gak fokus gitu. Lo sakit?"

"Oh eh enggak bang, aku baik-baik aja." sahut Nana kaget akan kehadiran tiba-tiba Givo didepannya.

Udah dua kali gue dikagetin, untung gue gak serangan jantung.—bathin Nana.

Givo menatap penuh selidik pada memar di sudut mata Nana. Memar yang meski sudah tak terlihat baru namun masih terlihat. "Itu mata lo kenapa? Lo dipukul orang ya sampe memar gitu?" tanyanya sembari menunjuk memar di wajah Nana. "Itu jidat lo juga. Anjir! Lo gak habis dipukulin orang kan? Bilang sama gue. Siapa yang berani buat lo kek gini."

Tergagap, Nana buru-buru menutup memarnya dengan poni. Menyesal dia tidak menggerai rambutnya, tapi mau bagaimana lagi? Pekerjaannya sangat melelahkan dan menggerai rambut bakal membuat dia kepanasan.

"Nah itu juga. Kenapa tangan lo? Jangan-jangan lo berantem ya? Ngaku gak lo!"

Shit

"Gak lah bang. Apa ada tampang aku kayak orang petarung gitu? Ini jatuh tadi waktu mau kesekolah." jelas Nana dengan raut bersungguh-sungguh. "Ya udah bang. Aku mau kedepan lagi. Pelanggan banyak banget kayak biasa, gak bisa ditinggal lama-lama."

Givo membiarkan Nana berlalu dari hadapannya, meski ingin bertanya banyak tapi dia tidak ingin memaksa.

"Jo tau gak ya?" tanyanya.

Sebagai lelaki dan anak gank, dia tentu tahu jika itu bukanlah memar akibat jatuh. Itu jelas pukulan yang keras, dan tangan gadis itu juga pasti memukul sesuatu dengan keras hingga berbekas seperti itu. Lagipula, emangnya jatuh bisa membuat luka sedetail itu?

"Nana menyembunyikan sesuatu. Gue harus memperingatkan Jo."

*****

Malam ini, seluruh anggota Ghost Shadow berkumpul di markas utama mereka. Mereka semua duduk dengan tampang serius menghadap pada sang ketua, Jo. Menyimak seluruh ucapan cowok itu dengan seksama.

"Kalian semua harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai kejadian Edo masuk rumah sakit juga terjadi pada yang lainnya. Saat ini, kita tidak tahu siapa pelaku pengeroyokan itu. Jadi, untuk sementara, jangan menggunakan apapun yang bersangkutan dengan Ghost Shadow."

"Tapi Jo, lo yakin bukan Black Dragon yang ngelakuin penyerangan itu?" tanya Renand dengan ragu.

"Gue yakin. Black Dragon itu pengecut, mana mungkin mau menyerang sendiri kayak gitu. Dan juga, lo pikir Edo lemah heh? Gue sangat tahu kalau gak ada di Black Dragon yang anggotanya sehebat itu."

NAYANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang