"Abii iih, jangan ganggu deh!" Aku mengecilkan volume suaraku, mengomeli laki-laki di sebelahku yang sejak tadi tidak berhenti menggangguku. Mulai dari menggelitiki pinggang, memainkan rambutku, sampai yang terakhir ini mencubit pipiku.
"Habisnya kamu serius banget sih," balas dia lalu menoel-noel punggung tanganku.
"Aku lagi nulis ini, sebentar," jawabku sambil menahan jari telunjuknya dengan tangan kiriku.
"Dilanjut nanti aja deh, Alenaa. Ya ya ya?"
Aku menghentikan aktivitasku, menatap sepenuhnya kepada laki-laki yang sudah menjadi pacarku empat bulan terakhir ini.
"Tapi nanti kamu yang nulis ya?" ucapku sambil menodongkan pulpen di hadapannya.
Kulihat wajahnya berubah pias walau kemudian ia jadi mengangguk pasrah. "Tapi nggak usah aneh-aneh kayak punyamu ya? Pusing aku liatnya," ujarnya sambil melirik catatan binderku yang berwarna.
"Pusing kenapa sih? Keren gini tau," kataku membalas.
"Daritadi aku perhatiin kamu gonta-ganti ambil stabilo sama pulpen warna itu itu itu." Dia menggerutu, "pusing aku," lanjutnya.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Akhir-akhir ini aku suka menghias catatanku dengan hand lettering menggunakan brush pen dan stabilo, biar kayak studygram gitu, hehe. Selain itu, enak buat belajar juga, rapi gitu jadinya.
"Jangan berisik ya, Bii. Ini perpustakaan," kataku mengingatkan.
Sudah hampir satu jam, aku dan Abi berada di perpustakaan sekolah. Aku yang sibuk menyalin catatan sedangkan Abi hanya menemaniku, tidak menggangguku lebih tepatnya. Hari ini siswa dipulangkan lebih cepat karena para guru sedang rapat, tetapi karena aku sibuk jadi aku melipir ke sini, tidak tahu kalau Abi mengikuti.
"Permisi, Kak Abi."
Seseorang menghampiri kami, kemudian duduk di hadapan Abi. Aku hanya melirik sekilas kemudian melanjutkan kembali kegiatanku. Perempuan, adik kelas.
"Aku mau tanya pendapat Kakak, soal mereka dong."
Cewek itu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam map yang ia bawa lalu ia letakkan di tengah-tengah meja pembatas.
"Menurut Kakak, kalau dia sama dia jadi pemain inti gimana?"
Abi memajukan tubuh, melihat kertas yang cewek itu berikan. Aku paham. Ini urusan manager basket dan kaptennya, nggak bisa diganggu gugat.
Tiba-tiba, Abi mengambil pulpen biruku lalu ia mencoret-coret kertasnya.
"Jangan terlalu ambisius, santai aja, rileks. Yang penting kita udah berusaha, ngerti?"
"Iya, Kak. Aku paham."
"Tapi, saran gue kalian harus lebih hati-hati ngelawan mereka." Aku melirik Abi, ia mulai memberikan petuah.
"Pengalaman gue, mereka nggak segan buat ngelakuin cara kotor. Mereka anaknya suka provokasi dan gampang emosian, kalian pokoknya jangan kepancing. Tolong banget, bilang ke Alden," Suara Abi memelan, "...ini kesempatan terakhir dia."
"O-oh, oke Kak."
Cewek itu lantas berdiri, "Thanks ya, Kak Abi. Hng-cepat sembuh juga."
"Kak Alena, aku permisi yaa."
Mendengar namaku disebut, aku mendongak lalu membalas senyumannya. Setelah itu ia berlalu.
Aku menghadap Abi yang kini menyandarkan punggungnya dan menunduk.
Abimanyu Antares. Aku belum pernah melihat dia benar-benar diam seperti ini. Aku paham.
Beberapa minggu yang lalu, tangan Abi mengalami cidera dan kini masih dalam proses pemulihan. Aku tahu pasti Abi sedih karena tidak bisa ikut berkontribusi pada event basket ini, apalagi statusnya adalah kapten basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Love Story
Short Story- ONESHOTS - Isinya, cerita pendek yang aku buat untuk memancing kembali rasa interestku terhadap hobiku yang hampir tiga tahun tidak tersalurkan. Semoga tulisanku ini berkembang dan mendapat banyak cinta dari kalian reader-nim. Ehe :)) ©copyright...