●Chapter 3

259 157 46
                                    


"Ya? Ada apa?" Ucap ku begitu membuka pintu, kulihat seorang laki laki dewasa menggunakan jaket merah tebal.

"Ah...pa-paket!" Ternyata tukang kurir, huft. Tapi kenapa dia gugup? Satu pertanyaan yang terlintas dipikiranku, bukankah sudah biasa tukang kurir mengantar paket?

"Terima kasih," aku menerimanya dengan senang hati, hei siapa yang tidak suka jika menerima paket? Kecuali jika itu-teror! Seperti di film film.

"Mmm kak, silahkan tanda tangan disini," dia kembali bersuara, namun tatapan matanya nya tidak berani menatapku, jika dia bertemu nenek ku, pasti langsung ditegur tidak sopan karena tidak melihat lawan bicara, tapi aku bukan nenek, jadi aku diam saja.

Ku ambil bolpoin hitam yang dia sodorkan padaku, hanya untuk bertanda tangan, lalu ku kembalikan lagi. Lantas dia tersenyum dan pulang dengan motor yang kanan kiri nya penuh box box pelanggan.

"Siapa? Kurir kan? Mana paketnya? Sini gue bantu buka!!" Ahh sial, aku hampir lupa jika masih ada Rara disini, mau tidak mau aku harus membuka bersama dia.

"Enak aja! Tapi liat doang ya, nggak boleh pegang pegang!" Aku melayangkan tatapan tajam, tapi bukan berati tatapan benci.

"Ya."

Mulai dari plastik yang membungkusnya. Lalu dengan tidak sabar, ku sobek kasar kertas beserta bio alamat dan nama, betapa terkejutnya aku, ah Rara juga, dia melongo, utung liur nya tidak sampai menetes.

Mau kutunjukkan isinya?

Kurang lebih seperti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kurang lebih seperti itu. Wah ternyata didalam nya ada surat, dari-bibi Seron! Ku kenalkan bibi Seron ini orang yang sungguh modis, aslinya namanya bukan Seron, dia menggantinya, katanya nama Seron itu hits, tidak tertinggal jaman. Dan juga, dia awalnya tidak mau jika dipanggil bibi, tapi nenek memarahinya, terlalu ribet kemauan bibi katanya.

"Maaf, Rara tidak bisa berkata-kata lagi," ucap Rara memulai bakat dramatisnya, aku tau dia sunggu alay.

"Bisu?"

Dia melotot padaku, aku hanya tertawa, "apa? Pulang sana, udah mau sore nanti dicariin."

"Anter, gue takut keluar! Eh iya, gue kasih cincinnya satu dong," dia kembali ber beo, aku hanya menatapnya malas dan mengiyakan.

***

Pukul 06.25

Sekolah seperti biasa, hari ini hari sabtu, tepat pada akhir bulan yang indah. Aku sudah merias diriku senatural mungkin agar tidak dikira perempuan cabe, bercanda.

"Woi! Cece!! Cepetan," kudengar dari luar rumah, ah itu Rey, dia terkadang yang mengantar jemput ku berangkat pulang, seperti tukang ojek bukan.

Dunia PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang