⑷Velleitie⑷

174 33 70
                                    

Gendang telinga Aretha kini penuh dengan sahutan dari dua orang yang sedang berdebat di depannya. Belum lagi suara bising dari baling-baling pesawat yang membuatnya ingin menutupi kedua lubang telinganya sekarang juga. Sesekali kedua orang itu memelankan, bahkan meninggikan suara mereka. Padahal mereka hanya mendebatkan masalah yang bisa dibilang cukup sepeleーmenurut Aretha.

"Di sana kita tinggal di hotel, nggak?" cetus seorang pria berkulit cokelat sawo. "Kita ini tugas, bukan liburan woy!" sahut pria berkacamata hitam di sebelahnya.

Pria berkulit cokelat tadi menunjuk benda-benda kotak yang ada di belakang pria berkacamata. "Tugas kok bawa tiga koper. Mau tugas apa teror bom?"

Pria yang ia maksud hanya mengeluarkan cengiran tak berdosanya, lalu berkacak pinggang. "Kali aja nemu jodoh di sana, kalo kencan 'kan gak perlu bingung mau pilih baju apa."

Sebuah jitakan dari tangan berhias gelang emas itu mendarat tepat di pelipis kirinya. Rautnya mengaduh kesakitan. Ia berbalik, mungkin mulut bengkaknya tak tahan untuk menyembur sang pelaku dengan kata-kata pedasnya.

"Eh sayang, ada apa gerangan?"

Ralat, ia tidak jadi mengumpat. Saraf sensornya bertindak cepat dalam mengirim sinyal menuju otak sehingga ia menelan umpatannya sendiri. Senyumnya ia paksa lebarkan setelah menyadari bahwa sosok itu adalah kekasihnya, Vio.

"Kalau mau selingkuh, gak usah jauh-jauh. Cari yang deket sini aja," sinisnya dengan senyuman miring. Pria berkulit cokelat tadi terlihat sedang menahan tawanya. Ia lalu berbisik pada Vio, "Mau cari yang berkualitas katanya."

Plak!

"Woy dugong pantat wajan, sejak kapan Zen bilang gitu?!" Lubuk hatinya seketika lega karena telah melampiaskan umpatannya pada seseorang. Lalu, Zen melepaskan kacamata hitamnya. "Itu nggak bener, Sayang. Jangan percaya sama manusia jahannam kayak Pipit!"

"Namaku Pietro, bego!" kesal Pietro, lalu menendang koper paling besar milik Zen. Hal itu tentu menjadi sebuah percikan yang mencuat dari bola mata Zen. Langkah kakinya menghentak, ia berjalan cepat menuju Pietro.

Prit!

Semua pupil manusia yang ada di sana tertuju pada sumber suara. Mereka terpaku pada wujud wanita dengan kuncir ekor kudanya dan suara roda koper yang menggesek lantai keramik itu. Di lehernya, terkalung sebuah peluit dengan noda merah, mungkin itu bekas lipstick yang menempel. Wanita itu melepaskan kuncirnya, lalu memainkan rambutnya bak seorang duta sampo.

"Wendy jadi duta sampo lain? Gila!" seru Zen yang seketika melupakan emosinya pada Pietro. Kedua manusia jantan itu berjalan cepat mendekati Wendy yang masih asik dengan dunia fantasinya.

"Ehm." Suara dehaman yang berat itu disertai dengan suara roda koper lainnya. "Jaga jarak."

Tegas dan penuh penekanan. Dua kata itu cukup membuat Zen dan Pietro menelan salivanya, lalu bergidik ngeri. Nyalinya untuk menjahili Wendy lenyap seketika. Masalahnya, seluruh anggota divisinya tahu bahwa seorang kakak laki-laki Wendy merupakan manusia yang sangat protektif pada adiknya.

"Ck, Bang Ro kumat," lirih Wendy. Namun, pria di sampingnya tentu dapat menangkap dengan jelas kalimat apa yang dilontarkan oleh adik perempuannya. "Mereka itu playboy ber-IQ tinggi," bisiknya.

Wendy menoleh, raut wajahnya berubah bingung. "IQ tinggi? Ya bagus, dong! Mereka pinter berarti gak kayak Bang Barro."

Wanita itu lalu meninggalkan Barro sambil terkekeh. Sementara Barro, ia merutuki mulutnya sendiri. "Sialan, typo."

***

Di genggaman tangan Aretha, terdapat sebuah mp3 yang tertancap oleh kabel hitam panjang. Kedua kabel itu dibiarkan menggantung karena ia dapat mendengarkan melodi merdu dari alatnya itu. Earphone, mungkin begitu sebutannya.

The Benevoles ✓ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang