⑶Drapetomania⑶

234 41 77
                                    

Kilat menyambar dinding batin Aretha, membuat komitmen yang selama ini ia tata hancur seketika. Saraf sensornya menyalurkan gelombang kejut yang dahsyat menuju jantung, membuatnya berdebar kencang melawan arus waktu. Kelenjar keringatnya memproduksi terlalu banyak kali ini sehingga suhu epidermisnya berada pada titik rendah.

Gadis itu menelan salivanya kasar, tak peduli esofagusnya berteriak sakit. Kini, yang ada di benaknya hanyalah, ia takut.

"Aku tidak menyangka bahwa gadis muda akan terpilih, apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Nyonya Isla?"

"Mungkin ia terobsesi pada gadis kuliahan itu. Sebagus apa memang dia?"

"Ck, kalau sampai kinerjanya tidak baik, Nyonya Isla pasti akan malu."

"Hey, pernah dengar rumor?"

Suara itu terus berlanjut dan berdengung di gendang telinga Aretha. Ia masih mematung dan menghadap mading. Iris cokelatnya terdiam pada satu titik dengan tulisan 'Aretha San.'

Dengan cepat, ia membalikkan badannya. Otaknya mengomando kedua kakinya untuk menuju ruangan Isla. Apapun yang ada di pikirannya kini, tentang skripsi, kegiatan kampus, dan lain-lain telah musnah. Lalu, muncullah perspektif baru, yang menggelapkan dunia nyatanya.

"Nona Aretha?"

Langkahnya terhenti. Itu suara Isla. "Kau mencariku?" lanjutnya.

Aretha berusaha mengatur napasnya. "Mengapa ... namaku tertera?" Lidahnya kelu, sungguh. Ia tak tahu cara mengungkapkan segala resahnya. "Karena kau pantas, Retha," jawabnya.

Cairan bening menutupi retina gadis itu. "A-aku ... tidak," ujarnya terbata-bata. Isla menundukkan kepalanya, memerhatikan ekspresi gadis yang sedang menahan tangisnya.

"Tidak ...?"

"Aku tidak sanggup."

Suasana mendadak hening. Lalu, Isla menghembuskan napasnya. "Mari ke taman, kau butuh lingkungan yang segar, kan?"

Isla melenggang terlebih dahulu menuju taman. Aretha memukul dadanya sambil terisak. Ia melangkah menuju taman.

"S-sakit."

***

Semilir angin berhembus, meniup dedaunan dan membuat mereka menari riang. Benar, cuaca hari ini sangat cerah. Namun, hal ini tidak berlaku pada cuaca hati Aretha.

Ia masih menundukkan wajahnya setelah menceritakan resahnya pada Isla. Rambutnya terurai ke depan, menutupi wajahnya. Kedua tangannya saling mengait.

Tanpa disangka, sebuah dekapan menghangatkan tubuh gadis itu. Isla menepuk bahu Aretha, membiarkan tangis gadis itu tumpah.

"Maafkan aku, Retha," bisik Isla.

Aretha mengangguk seiring air matanya tumpah. Ia tidak bisa membendung perasaan yang menyiksanya ini. Ini terlalu berat.

"Hey, Retha. Dengarkan aku, ya?"

Aretha menatap iris biru Isla. Ia menunggu kalimat yang akan dilontarkan Isla. "Seorang dokter, bahkan yang ahli sekalipun dapat membuat kesalahan. Semua manusia begitu, Retha. Namun, tidak semua orang dapat menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sama."

Gadis itu masih terdiam dan mendengarkan. "Orang sukses dibangun oleh raga yang penuh luka, batinnya sekalipun. Hanya saja, mereka bisa menutupinya."

The Benevoles ✓ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang