6. Teman dan musuh

17 1 0
                                    

Drake berdiam diri seraya duduk di atap rumah Azumi. Angin semilir musim semi menerpa dirinya hingga membuat rambut dan pakaiannya berkibar-kibar seperti bendera. Kegelapan menyelimutinya.Mata emasnya menyala terang saat memandang langit. Mencoba mencari bintang-bintang, tetapi mereka tidak ditemukan.
Sesaat pikirannya menelusuri masa lalu yang pahit. Pernikahannya kandas karena serangan dari pihak lain. Carla van Hoyt, istrinya tewas karena terbakar akibat disiram air suci. Semua keluarganya juga mengalami hal yang sama. Hanya dia sendiri yang selamat dari insiden pembantaian itu.
Beberapa orang berpakaian aneh, bersenjatakan salib dan air suci, mengelilinginya. Drake terkulai lemas di lantai granit hitam karena terkena air suci hingga menimbulkan luka bakar di sekujur Mulut mereka komat-kamit, entah membaca apa. Dari lingkaran yang terbentuk, cahaya ungu memakan tubuh Drake hingga masuk ke sebuah buku merah seperti darah. Drake tersegel di buku itu selama bertahun-tahun.
"Carla," gumam Drake dengan air bening yang mengalir deras di dua pipinya, "kenapa kamu cepat sekali pergi dan meninggalkanku?"
Bayang wajah gadis berambut pirang dan bermata biru, Carla, muncul di pelupuk mata Drake. Carla adalah anak dari keluarga vampire bangsawan yang terkenal dengan kecantikan dan kelembutannya. Banyak pangeran dan anak-anak dari keluarga vampire kaya datang mempersuntingnya, tetapi ditolaknya. Dia hanya mencintai satu lelaki yaitu teman masa kecilnya, Drake.
Kedua belah pihak keluarga menyetujui pernikahan Drake dan Carla. Pada bulan purnama, prosesi pernikahan ini digelar bersamaan Drake akan dinobatkan menjadi Raja Vampire yang menggantikan Raja Vampire sebelumnya. Satu syarat untuk penobatan itu, Drake harus dimandikan dengan darah segar dari manusia-manusia pilihan. Tentu ayah Drake yang bertugas memandikan Drake, tetapi acara penobatan itu akhirnya tercium oleh para Vampire Hunter.
Drake menghelakan napas panjang saat mengingat tragedi di malam itu. Dia merasa menjadi vampire terakhir yang masih hidup di dunia ini, tetapi indera penciumannya yang tajam bisa mencium keberadaan vampire lainnya.
"Jika aku melakukan upacara penobatan itu lagi, tentu aku harus mendapatkan banyak tumbal manusia. Tapi, aku tidak bisa melakukannya sendirian." Drake berbicara sendiri. "Ayah sebelum meninggal, dia berpesan agar aku membangkitkan kembali bangsa vampire dan melaksanakan upacara penobatan itu. Aku sudah terlanjur berjanji untuk melakukannya lagi."
Drake memegang perutnya. Rasa sakit di perutnya masih berdenyut. Untuk memulihkan keadaannya, harus bersembunyi di kegelapan.
"Lebih baik aku masuk ke rumah sekarang." Drake berdiri dan menghilang dalam satu kedipan mata.

***

Pagi itu, Azumi buru-buru mandi, berpakaian rapi, dan sarapan. Drake yang menyaksikannya mondar-mandir dari lantai atas sampai lantai bawah, mengerutkan kening.
"Hei, kamu mau kemana?" tanya Drake penasaran. Dia berdiri di dekat tangga.
"Mau kerja," jawab Azumi yang memakai sepatu, "aku sedang libur magang sekarang."
"Oh."
"Sudah, ya. Aku pergi dulu. Drake, kamu jaga rumah. Oke?"
Tanpa menunggu jawaban Drake, Azumi langsung pergi dan tidak lupa mengunci pintu. Drake yang ditinggalkan, hanya melongo. Dia tidak mau menjaga rumah, justru mengikuti Azumi.
Azumi naik bus menuju tempat kerja. Dia sudah terlambat dari jadwal masuk yang ditentukan. Dirinya takut akan kena semprotan kemarahan dari Mizuto karena bukan pertama kali dia terlambat seperti ini.
Dewi Fortuna memang berpihak padanya beberapa bulan ini, Mizuto tidak pernah lagi marah padanya sejak dia terlambat sebanyak tiga kali. Untuk kesempatan empat kali terlambat ini, Mizuto menunjukkan senyum pemikatnya yang mampu membuat Azumi terpaku.
"Tidak apa-apa," tutur Mizuto sambil memegang bahu Azumi, "ayo, cepat kerja sana!"
"Ba ... baiklah, Pak," sahut Azumi tersenyum dan membungkukkan badan saat berdiri di depan pintu restoran. Beberapa orang sempat memperhatikan mereka.
Azumi segera masuk ke dapur dan disambut senyum ceria dari Seira. Mizuto mengikutinya, mengintip di balik pintu dapur. 
"Syukurlah, kamu tidak dihukum karena terlambat, Azumi," kata Seira yang sedang mengambil minuman dan makanan pesanan pelanggan.
"Iya. Pak Mizuto memang baik sekali," tukas Azumi yang sedang memakai celemek putih.
"Pasti Pak Mizuto suka denganmu."
"Ah, tidak mungkin itu."
"Lihat, wajahmu memerah."
"Tidak."
Azumi mengelak dari tuduhan Seira. Bisa dirasakannya, kedua pipinya memanas. Memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdetak sedikit kencang. Salah tingkah. Membuat Mizuto tersenyum saat memperhatikannya.
Memang benar yang dikatakan Seira, aku memang suka padamu, Azumi. Bukan hanya suka, tetapi cinta.
Suara hati Mizuto terdengar oleh tamu yang tidak diundang. Drake muncul tiba-tiba dan berdiri tak jauh dari Mizuto. Dia menggeram kesal dengan mata yang menajam. Auranya sebagai vampire terendus oleh Mizuto.
Mizuto menilik Drake. Matanya yang berwarna cokelat, tiba-tiba berubah menjadi merah seperti darah. Gigi-gigi taring menyembul dari dua sudut mulutnya. Hanya bisa terlihat oleh Drake. Mereka saling melempar tatapan sinis hingga berujung tiba di belakang restoran yang terlindung dari cahaya matahari. Pohon-pohon rindang berjejeran di halaman belakang restoran. Dersik berdesir pelan memainkan rambut dan pakaian dua makhluk itu. Dia menemani mereka yang saling berdiri berhadapan.
"Siapa kamu?" tanya Mizuto serius.
"Aku Drake Stevenson," jawab Drake santai.
"Namaku Kobayashi Mizuto. Kamu vampire, apa aku benar?"
"Ya. Kamu juga vampire."
"Lebih tepatnya Half-breed."
"Manusia setengah vampire?"
Drake membulatkan mata. Mizuto mengangguk pelan. Keduanya saling tersenyum.
"Senang rasanya bisa bertemu dengan ras yang sama," tutur Drake seraya menyipitkan mata, "tapi, gadis yang bernama Azumi itu sudah menjadi milikku karena aku sudah menghisap darahnya."
"Menghisap darahnya bukan berarti dia menjadi milikmu, 'kan? Setahuku, Azumi itu belum menikah. Kamu tidak berhak mengklaimnya sebagai milikmu, Tuan Stevenson."
Perkataan Mizuto membuat Drake terdiam. Drake menggeretakkan gigi-giginya. Mencoba menahan emosi.
"Sebentar lagi, aku dan dia akan menikah." Drake mengepalkan dua tangan.
"Buktinya?" Mizuto bersedekap dada.
Mizuto mengangkat salah satu alisnya. Sekali lagi, Drake terdiam sebentar, berpikir ulang tentang hubungannya dengan Azumi sekarang. Hubungan mereka tidak jelas bagaikan terombang-ambing di lautan lepas. Cinta yang diharapkan belum tumbuh di hati mereka.
Sejujurnya, aku menganggap Azumi sebagai Carla-ku yang hilang. Hatiku masih mencintai Carla, bukan Azumi. Suara hati Drake tidak terdengar oleh Mizuto. Kenyataan itu memukul jiwa Drake sehingga tidak mampu berucap. 
Mizuto menunggu jawaban Drake dengan sabar. Drake pusing tujuh keliling karena terlampau berpikir keras. Terpaksa berbohong demi mendapatkan Azumi.
"Buktinya ... Azumi mencintaiku." Drake tersenyum penuh kemenangan. 
Mizuto mengerutkan keningnya. "Apa itu benar?"
"Ya."
"Aku tidak yakin."
"Yakin saja."
"Terus bagaimana ceritanya kamu bisa berjumpa dengan Azumi?"
"Ceritanya panjang. Aku tidak mau memberitahukannya padamu."
"Oh, baiklah. Aku tidak memaksamu."
Mizuto mengangguk mengerti. Dia tersenyum, sementara Drake memandangnya sinis.
"Aku harap kamu tidak terlalu dekat dengan calon istriku. Jika kamu masih nekad, kamu akan berhadapan denganku," ancam Drake berintonasi dingin.
"Aku paham," tukas Mizuto tersenyum lagi, "bagaimana kalau kita berteman saja sekarang?"
Mizuto berjalan mendekati Drake. Dia mengulurkan tangan ke wajah Drake. Namun, Drake menepis tangannya itu.
"Tidak." Drake menggeleng cepat. "Aku tidak suka berteman."
"Kenapa?" Kening Mizuto mengerut.
"Karena kita ... musuh sekarang."
Kedua mata Drake menyipit tajam. Mizuto membelalakkan mata. Hawa ketegangan menguasai kedua makhluk penghisap darah itu.

***

Reign of the Fallen AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang