Satu bulan berlalu...
Hari ini pengumuman kelulusan. Siswa-siswi digiring menuju masjid sekolah yang baru rampung pembangunannya. Mereka diperkenankan duduk. Barisan depan diisi oleh laki-laki dan dibelakang perempuan.
Mereka membawa serta para orang tua. Namun, tidak dengan Navisa, ia berangkat sendiri. Padahal surat edaran sudah diterima mamanya. Dia berpikir paling tidak ayahnya yang akan datang. Ternyata tidak ada yang bersamanya.
Duduk di tengah-tengah masjid dan dikelilingi siswa yang bersama orang tuanya sungguh menyakitkan. Ia hanya melirik ponsel genggamnya. Berharap ayahnya tiba-tiba datang mendampinginya. Tapi tak ada pesan atau telepon masuk.
.Pembacaan doa di mulai. Setelah ini pastinya acara meminta maaf kepada orang tua. Apalah daya Navisa yang duduk sendiri di kerumunan siswa dan orang tuanya. Navisa tidak menangis. Ia terdiam menutup mata membayangkan hal apa yang kan terjadi lagi. Berpikir keras untuk tak mengingat luka hasil karya orang tuanya.
Dia membuka mata di saat teman lain berpelukan mesra dengan orang tuanya. Ada yang bersama ibunya atau bapaknya saja. Bahkan yang bersama orang tua lengkap juga ada. Ia menahan sekuat mungkin air matanya agar tak jatuh. Di sini bukan tempatnya. Ia akan menangis pada tempatnya.
Tangisan disekelilingnya semakin kencang saling bersahutan. Nafasnya berhembus kencang. Pertanda dia tak baik-baik saja. Ia mencoba bertahan. Akhirnya ia tak kuat dan memilih pergi dari area itu.
Kamar mandi. Tempat itu terasa paling nikmat untuk mengeluarkan rasa sesaknya. Air matanya akhirnya jatuh juga ditempat itu. Diiringi sedikit isakan kecil karena rasa sesak yang sudah ia tahan sedari tadi.
"Mama, ayah. Aku ingin kalian menemaniku di sini. Aku iri melihat mereka bersama orang tuanya. "
。。。
Pembagian hasil kelulusan. Inilah yang ditunggu-tunggu. Navisa dan siswa lain memasuki kelasnya. Kali ini hanya siswa yang diperkenankan masuk kelas. Orang tua harap-harap cemas di luar ruangan.
Wali kelas memberi wejangan terlebih dahulu sebelum menyerahkan amplop putih berisi surat kelulusan itu. Siswa tampak antusias mendengarkan agar cepat selesai dan mendapatkan hal yang paling ditunggu-tunggu. Tidak dengan Navisa. Ia duduk sendirian di pojok dengan santai. Ia berpikir seluruh siswa pasti lulus. Walaupun para guru berkata ada yang tidak lulus, itu hanya menakut-nakuti saja. Kelasnya sendiri memang salah satu kelas unggulan di sekolah ini.
.
Amplop putih diterima. Semua siswa tampak deg-degan. Perhitungan pun di mulai.
Satu...
Dua...
Tiga...Srekkk
Navisa membuka amplop dengan santai. Pelan-pelan saja. Benar seperti dugaannya. Ia lulus. Ia bernafas lebih kencang sejenak. Ia menoleh kanan-kiri dan mendapati tangis haru siswa lain bersama orang tuanya.
"Nav, bisa ibu bicara sebentar. " wali kelasnya angkat bicara. Navisa menoleh ke sumber suara.
"Oh__. Iya bu. " diam sejenak dan akhirnya mereka memasuki ruang kelas.
.
"Kenapa orang tua kamu tidak ada yang datang nak? " tanya wali kelas dengan penuh selidik.
"Oh_. Itu bu. Mereka sedang bekerja. Tidak bisa hadir mendampingi saya. " senyum sebisa mungkin ditunjukkan Navisa.
"Ibu benar-benar minta maaf ya nak. Ibu tidak tahu kalau kamu sering dibully di kelas. Ibu kira hanya bercanda. Ternyata ada yang benar-benar serius. "
"Oh itu bu. Saya nggak papa kok bu. Sudah biasa. " senyum terpaksa ditunjukkan.
"Tapi, kenapa kamu tidak bilang kepada saya? " tanya guru itu.
"Buat apa bu saya bilang. Kesannya saya kayak anak kecil dong bu. Lagipula saya sudah pernah mencoba untuk mengadu. Tapi tidak ada tempat mengadu yang baik di sini. Saya berangkat ke ruang bk dan ditolak mentah-mentah bu. " Navisa sedikit tertawa garing untuk melegakan nyeri dadanya.
"Maafkan saya nak. Harusnya saya sebagai wali kelas tahu kondisi semua anak didik saya. " ucap guru itu penuh penyesalan.
"Sudah bu. Tidak papa. Saya sudah biasa terluka. Ibu tidak perlu meminta maaf. Ibu tidak salah. "
"Lalu, waktu kemarin saya bertemu kamu di toko. Apakah kamu bekerja begitu keras untuk hidup ini? " tanya guru itu dengan penuh selidik lagi. Pasalnya tiga kali guru itu bertemu Navisa sedang bekerja di toko yang berbeda.
"Oh itu bu. Saya sudah biasa bekerja. Bahkan saat saya masih sekolah. Hidup saya terlalu enak jika harus diisi dengan jalan-jalan tidak jelas bu. Lagipula saya harus memenuhi kebutuhan hidup saya. Kalau tidak bekerja saya tidak bisa menabung untuk uang kuliah saya bu. Orang tua saya kurang mampu untuk membiayai saya kuliah. "
"Oh ya sudah kalau begitu. Semangat terus menjalani hidup ini. Ibu tahu beban kamu berat. Tapi ibu percaya suatu saat kamu pasti bisa sukses. "
"Aamiin bu. Semoga saja saya tak membuat ibu kecewa. "
"Oh ya. Kalau butuh apa-apa kamu datang saja kepada saya. Insyaallah saya membantu sebisanya. "
"Terimakasih sekali bu. Doa ibu saja sudah cukup bagi saya."
"Oh ya bu. Saya ingin meminta surat rekomendasi dari ibu. Bolehkah? Apa ibu berkenan? " ujar Navisa lagi.
"Tentu saja. Tapi surat rekomendasi untuk apa nak? " tanya bu guru itu.
"Saya ingin mencoba nasib untuk ikut beasiswa ke luar negeri bu. Saya tahu saya tidak pintar. Tapi apa salahnya jika saya mencoba. Saya ingin meringankan beban orang tua saya. Saya akan mencoba beasiswa dalam dan luar negeri. "
"Tentu saja nak. Kamu datang saja ke rumah saya atau saat saya di sekolah. Saya akan memberikan itu. Saya akan sangat senang jika kamu bisa berhasil. "
"Terimakasih banyak bu. "
Navisa pun berpamitan pada wali kelas. Ia pulang dengan hati sedikit lega. Restu guru sudah didapatkannya. Rasanya ia sudah memiliki harapan kembali.
~~~~~~~~~~
Sore ini Ayah Navisa sudah pulang. Mungkin saja target sudah terpenuhi. Ia segera menghampiri sang ayah yang tengah duduk menonton televisi.
"Yah, aku ada kabar gembira. " duduk di sebelah sang ayah dengan wajah berseri-seri.
"Kabar apa nak? "
"Ayah. Nav lulus. Ini surat kelulusannya. " sambil menyerahkan amplop putih yang tadi diterimanya.
"Alhamdulillah. Tapi kok nggak bilang ayah kalau hari ini pengumuman. Ayah kan bisa datang ke sekolah. " tanya ayah.
"Loh, ayah nggak tahu. Surat edarannya sudah Nav kasih ke mama. " Navisa terkejut, ternyata ayahnya tidak tahu. Pantas saja beliau tidak datang. Biasanya beliau lah yang mengambil rapot Navisa.
"Oh iya. Lupa mau ngasih tahu ayah. Halah lagian juga nggak penting. Yang penting sekarang sudah lulus kan. Ayah datang atau nggak, juga nggak ngaruh. " mama tiba-tiba menyela perbincangan ayah dan anak itu.
"Jangan kayak gitulah ma. Dulu kan waktu Revan kelulusan kamu juga dateng kan? " ayah membelanya.
Mama tak menjawab. Hanya memutar bola mata dengan malas. Mulutnya terlihat mengoceh tidak jelas tanda tak terima. Navisa pun akhirnya masuk kamar. Ia kecewa lagi.
~~~~~~~~~~
"Jika tak ada yang menginginkanmu lagi. Ingat, Tuhan masih menginginkanmu. Kamu dikuatkan untuk menjadi pemenang. "
~~~~~~~~~~
Hai guysss
Ku datang dengan cerita halu lagiii
Maafin ya kalau banyak typoKasih voment dong biar aku semangat
Nggak maksa ya😁谢谢你😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Tuk Terbit Lagi
Random"Pergi adalah pilihan yang tepat untuk menyelesaikan semua ini. Aku tak akan kembali menjelma seperti dulu lagi." Navisa Permatasari *Maafkan diriku teman-teman kalau memang banyak typo. Maklum, hanya imaginasi orang halu. Hehe😁 *Cerita ini akan se...