Tiba-tiba saja sebuah ide gila terlintas kembali dikepalaku. Kini targetku adalah dirimu.
Untuk kedua kalinya, aku tersenyum mencurigakan.
"Lihat, gara-gara kau, orang tuaku bertengkar!" Teriakku sarkas pada Lucius sambil memberinya tatapan tajam.
Lucius panik, dia tidak tau harus meresponku seperti apa. Dia berkeringat dingin dan raut wajahnya mulai berubah pucat.
Bagus Charlotte, dia jadi takut padamu. Persentase kau akan mati dibunuh olehnya pastinya akan berkurang walau sedikit. Aku percaya diri akan itu.
[Kruyuukk.]
Oh sial, aku sudah sangat kelaparan dari tadi ditambah dengan berlarian di dalam mansion yang sangat besar ini membuat energiku terkuras habis tak tersisa. Aku menghela nafas berat sambil menggaruk tengkukku tak gatal. Saat aku menatapnya lagi, dia tengah menunduk dalam dengan kedua mata yang berkaca-kaca dan air mata yang sudah berada di ujung tanduk dan akan tumpah dalam beberapa detik lagi.
Haah, melihat anak kecil menangis itu adalah hal yang sangat merepotkan, apalagi penyebabnya adalah diriku sendiri. Tidak ada pilihan lain, aku akan menghiburnya dengan mengajaknya berburu dari pada melihat anak menyedihkan yang akan menangis dalam beberapa detik lagi.
"Ikut aku,"
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menarik tangannya, menyeretnya secara paksa dan membawanya pergi ke dapur utama.
"Ki-kita mau kemana?"
Lucius yang kebingungan di bawa ke entah berantah pastinya akan berkata seperti itu. Aku menengok kebelakang, tepat kearahnya dan tersenyum.
"Kita akan melakukan perjalanan yang cukup berbahaya."
Senyuman favoritku ku ukir, senyum yang menyimpan penuh maksud di dalamnya walau sekilas terlihat seperti senyum tulus yang penuh kejujuran.
"Nyawamu mungkin bisa hilang hari ini."
Lanjutku mencoba menakutinya membuat wajahnya langsung pucat pasi dan membeku ditempat. Pfftt, tahan Charlotte! Kau tak boleh tertawa, tawamu hanya akan merusak rencananya saja.
Pintu besar berwarna coklat yang sangat familiar di kepalaku itu kini tepat sudah berada di depan mata membuatku mempercepat jalan dengan tanganku yang masih setia menarik lengan Lucius dan lebih mengeratkan cengkeramanku.
Aku membuka pintu dapur dan masuk ke dalamnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Kudorong Lucius perlahan agar berdiri tepat di depanku. Wajahnya tak banyak berubah, masih pucat pasi seperti tadi namun dengan keringat dingin yang keluar lebih banyak. Terlihat para pelayan dapur tengan rusuh menyiapkan makanan sampai-sampai tak menyadari keberadaan kami.
"Apapun yang terjadi jangan bergerak, oke?"
Aku berbisik ke telinganya membuatnya langsung mengangguk dengan terpatah-patah. Saat itu juga setelah mendapat respon dari Lucius aku langsung bersembunyi tak jauh dari sana.
"Paman Seta!!"
Teriakku membuat kepala koki yang tengah sibuk memasak itu langsung terdiam. Bahkan hal itu juga terjadi pada semua pelayan yang berada di sana dan tengah sibuk melakukan tugasnya langsung diam tanpa terkecuali.
Beberapa detik kemudian kepala mereka bergerak keasal suara, mendapati Lucius yang tengah berdiri tepat di depan pintu. Lucius tersentak, dia refleks mundur sebanyak dua langkah, kedua kaki kecilnya bergetar hebat dengan air mata yang sudah berada diujung mata siap tumpah.
"Wah!! Siapa anak imut ini!!"
Dengan cepat mereka berlari seperti kumpulan Zombie menghampiri Lucius dan mengerumuninya, memberiku kesempatan untuk mengambil ranjang kecil di atas meja lalu dengan cepat menyambar seluruh makanan yang tengah tersaji di atas troli makanan yang siap diantarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Was Reincarnated Into A Game.
Teen FictionAku bereinkarnasi menjadi putri dari seorang Adipati dalam sebuah otome game dan berperan menjadi gadis figuran yang dibunuh adik tiriku sendiri dengan racun. Aku tidak mau berakhir mati dengan cara menyedihkan seperti itu! Bagaimanapun caranya aku...