Setelah menempur perjalanan kurang lebih setengah jam kami sudah sampai di rumah June. Besar, megah kelihatan sekali berkelas. Sudah jelas kalau June memang anak orang berada.
June langsung turun tanpa mengucapkan sepatah kata apapun bahkan saat seorang wanita paruh baya itu menyapanya ia tak bergeming terus melanjutkan langkahnya. Nampaknya wanita itu seseorang yang merawat rumah ini atau lebih terkenal dengan sebutan ART.
"Bik, maaf ya Junenya lagi kesambet."
"Aden ini bisa aja. Memangnya ada apa lagi?"
"Gak tahu, habis istirahat langsung diem aja. Kayaknya emang bener penunggu pohon mangga di sekolah kecantol sama dia."
"Hush... gak boleh gitu, Den. Pamali kalau kata orang jaman dulu."
"Hehe...."
Gak lama setelah bincang-bincang dengan ART nya June aku dan Bobbypun masuk. Tapi sebelum masuk tadi sempat ada sedikit informasi mengenai June yang bisa jadi penyebab kemarahannya itu.
Sedih sekaligus bingung yang kurasakan saat itu. Tidak tahu lagi harus bagaimana memberikan semangat untuk June. Ternyata hidup dalam kemewahan tak selalu menyenangkan. Kebutuhan jasmaninya terpenuhi tapi kejiwaannya benar-benar kosong.
Rumah sebesar ini tanpa ada kehadiran orang tua. Hanya dirinya ditemani ART yang sudah 10 tahun bekerja disini, pasti kesepian.
"Kamu berantem lagi sama Papamu?" tegur Bobby ketika June baru saja merebahkan tubuhnya di ranjang.
Aku bisa mendengar dan melihat dengan jelas kejadian itu sebab pintu kamar terbuka lebar meski aku duduk di ruang tengah dekat kamarnya. Lagi-lagi June memalingkan pandangannya engan menjawab pertanyaan Bobby.
"Jangan diem aja, kita temenan udah lama." Bobby jadi menekan suaranya.
Kali ini mereka beneran saling pukul beberapa kali sampai jantungku berdetak kencang sekali. Aku tidak bisa ikut campur aku tidak tahu apapun dan tidak ada hak disini. Yang terpenting adikku sedang berada di dapur melihat asisten June membuat roti. Hanya itu yang ada di otakku saat itu, bodoh dan gila memang.
"Benci aku, Bob. Gak sudi aku punya ibu tiri."
"Gak semua ibu tiri itu jahat."
"Bukan itu yang jadi masalah, tapi kenapa harus perempuan itu."
Baru kali ini aku melihat June menangis, ia sungguh menitihkan air mata dengan deras. Isakannya semakin keras menusuk relung hatiku.
Perlahan aku mulai mendekat, kuelus puncuk kepalanya lembut lalu tiba-tiba ia memeluk pinggangku, disandarkannya kepalanya dipundakku.
Kualihkan pandanganku pada Bobby yang tengah berdiri diambang pintu dengan tatapan sendu. Matanya berkaca-kaca, beberapa kali ia menghela napas. Aku yakin Bobby pasti tahu banyak tentang June.
"Ada apa?" tanyaku pada Bobby tanpa bersuara, hanya gerakan bibir. Bobby menggeleng lalu mengangkat pundaknya kemudian membalikkan badan, ia terlihat frustasi.
"Lagi nagapin, Bang." suara Javi terdengar samar-samar dari luar. Aku belum melihatnya tapi Bobby segera berlari, kurasa ia menghampiri Javi.
"Main PS yuk," ajak Bobby, pintar juga ia mengalihkan perhatian.
"Gak ah...."
"Satu babak aja,"
"Gak bisa, Bang. Mbak Okta kemana?"
"Ada disana lagi ngerjain tugas," tugas apaan Bob, gak ambigu bahasanya. Jangan bikin anak orang mikir keras deh.
"Mbak...." teriak Javi, tapi entah diapakan Bobby kenapa tidak sampai-sampai ketempatku.
"Jangan gini Bang Bob, aku harus pulang. Ibuku telpon nanya kenapa gak ada orang di rumah."
Mampus, orang tuaku sudah di rumah lalu apa yang aku lakukan malah kelayapan. Ini baru pukul 19.00 tapi yang membuat tidak enak itu karena ibuku pulang tapi tidak ada yang menyambut.
Secepat kilat kudorong tubuh June sampai terjungkal di kasur empuknya. Kurasa kepalanya agak terbentur tembok sedikit karena sempat ada suara keras tadi. Aku berlalu menghampiri Javi dan Bobby di ruang tengah meninggalkan June yang tengah mengaduh kesakitan.
"Udah ayo cepat pulang," ucapku seraya menarik lengan Javi sampai ia tertaih mengikuti langkahku.
"Pelan-pelan dong, Mbak. Ini kita pulangnya diantar Bang Bobby kan gak jalan kaki."
"Tau ah bodo amat. Pusing."
***
Saat menunggu Bobby dibawah di dekat anak tangga itu aku melihat beberapa photo terpajang disana. Di tempel di dinding seperti memo. Ku dekati, kulihat satu persatu yang semakin meruntuhkan hatiku. June tersenyum lebar disana bersama teman-temannya.
Aku tidak terlalu paham siapa saja mereka yang jelas ada 6 orang diantaranya Bobby dan Yunhyeong teman kelasku.
"Ini anak Korea-Arab kenal sama June juga,"
"Terus ini Jinan kelas 3 kan, temenan sama June juga. Astaga asli ini pasti yang sama June orang aneh semua."
"Apa sih, Mbak ngedumelu mulu dari tadi. Temen, temennya Mas June yang repot Anda."
"Nyamber aja,"
"Biarin dari pada dicuekin dikira gak hidup nanti." ngeselin banget adikku memang gak bisa sebentar aja gak jawab.
Dari semua dekorasi dinding semuanya wajar tidak ada yang aneh tapi setelah sampai pada almari kecil di depan dinding itu ada setumpuk buku usang dan beberapa kertas berserakan. Pada saat itulah aku menemukan sebuah petunjuk yang masih terus menggiring seribu tanya ke dalam pikiranku. Sebuah photo yang terbakar dan yang lebih parah itu photo sosok yang tak lagi asing bagiku.
"Habbimayu," pekikku dalam hati.
Sudah dulu ya teman-teman. Bagaimana part kaki ini?
Jangan lupa tinggalkan jejak ya, beri saya bintang dan komentar, Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS PACAR [KOO JUNHOE]
Teen FictionCerita tentang June, Si Sad boy yang pura-pura tsunder. Awalnya selalu menolak dan bilang kalau ia baik tanpa seseorang namun pada akhirnya latar kehidupannya yang rumit terkuak juga. Konflik asmara yang dicampur batin keluarga semakin memperkeruh k...