Let It Flow Bro

39 1 0
                                    

                   بسم الله الرحمن الرحيم

                     *------------------------*

Oke, cukup sudah waktuku habis terbuang. Aku bahkan tak tau bagaimana cara meng-qadha solat. Semua seakan mengalir begitu saja. Tanpa ada ilmu tambahan, tanpa ada Hafalan Al-Quran yang bertambah.

Harus kuakui, aku adalah santri paling malas. Dibanding santri lain, aku seperti cuma ngekos doang. Iya, cuma ngekos. Bagaimana ngga disebut demikian, kegiatanku di mahad dan di rumah sama saja. Makan, tidur, jalan-jalan, ngopi sampai larut malam. Itu aja. Ngaji dan sekolah cuma variasi. Kalau kata ustadz, "mondok mek pindah turu tok." Raganya aja yang ada dikelas atau masjid, tapi pikiran melayang kemana-mana.

Padahal, aku adalah harapan besar umi. Sebagai anak pertama, aku diharap mampu menjadi uswatun atau tauladan yang baik untuk adik-adikku. Bahkan, tak sekali aku membuat umi menangis. Menghancurkan harapan beliau. Mengkhianati amanah yang umi berikan kepadaku, berupa Tholabul 'Ilmi.

Begitupun dengan abi. Beliau bahkan jarang dirumah saat malam. Mengambil lembur di tempat kerjanya. Demi menopang kebutuhan keluarga. Menutupi semua kekurangan keluarga. Dan, demi pendidikan yang baik buat anak-anaknya.

Karena memang, mahad tempatku belajar, termasuk mahad dengan fasilitas elite. Biaya pun ngga sedikit. Bukan standar keluargaku sebenarnya, mengingat aku dan keluargaku bukan orang berada. Namun, kata umi dan abi, demi fasilitas dan ilmu terbaik.

Dan sekarang, aku enggan melanjutkan pendidikan disana, kendatipun diminta. Bukan karena ada dendam dengan ustadz. Namun aku malu dan sadar diri. Dengan akhlakku yang sedimikian rupanya, aku ngga mungkin mampu mengasuh adik kelas. Memperbaiki akhlakku sendiri saja susah, apalagi memperbaiki akhlak orang lain. Dan akhirnya, kuputuskan untuk out dari pondok.

-

Ponsel ku berbunyi, tanda ada DM instagram masuk.

"Oi bro, apa kabar?"

"Yah gini aja sih"

"Lah.. Kenapee? Jual telor asin ga laku ya?"

"Bukan telor asin, telor kucing"

"Yaelah ga serius ih. Kenapaa?"

"Yah ada pokoknya, sekarang ga pingin cerita dulu"

"........"

Dia Zafeera, temanku di pesantren. Di pesantrenku, bukan merupakan hal yang tabu, ketika seorang santriwan komunikasi dengan santriwati, via chat. Jadi, Zafeera bukan satu-satunya santriwati yang pernah ku-chat. Namun, bagiku, cuma Zafeera santriwati yang nyaman ketika diajak curhat. Dia satu-satunya akhwat yang paling enak diajak chatting. Plus, dia adalah primadona di kalangan santriwati. Bahkan di kalangan pesantren.

Kendati demikian, aku tidak pernah telpon atau vidcall dengan dia. Batasan-batasan yang jadi aturan Allah, masih kupegang dengan erat. Kesempatanku tatap muka secara langsung sebenarnya banyak dan terbuka lebar, namun tak pernah kuhiraukan. Aku takut melampaui batas. Seburuk apapun perilaku-ku sebagai seorang santri, dosa interaksi fisik dengan lawan jenis tetap menjadi prioritas utama untuk kuhindari.

Kalau kata teman-temanku yang lain, Zafeera itu santriwati yg paling susah diajak chat. Paling susah diakrabin. Sampai-sampai Rian, temanku seangkatan, mantan penghuni kamar Utsman bin Affan, mengaku pernah jauh-jauh datang dari Jogja ke Gresik, cuma untuk nemuin dia, gara-gara saking sebelnya karena Zafeera ngga pernah balas chatnya. Dan, itu semuanya nggak berlaku ke aku.

Ya. Cuma ke aku dia berani curhat panjang lebar. Cuma ke aku dia berani ceritain masalah keluarganya. Cuma ke aku juga, dia berani chat dengan bahasa-bahasa yang terkesan gaul, bahkan kadang-kadang terkesan kasar. Dia ngga mau jaim kalau lagi chatting-an denganku.

Pun demikian dengan aku. Aku ngga mau canggung ke dia. Loss aja. Kayak Nabi Musa dengan Nabi Harun gitu. Saling sharing, tanpa ada rasa canggung, tanpa ada rasa jaim. Namun, tetap dibatasi norma-norma agama islam.

-

"Let it flow bro. Life is journey. From Allah, to Allah."  Balas DM Zafeera setelah aku ceritakan panjang lebar soal pendidikanku kedepan. Dan setidaknya itulah yang membuatku galau.

"Yes I know. But what can i do now? Aku bahkan ngga tau mau  kemana setelah SMA ini, Ra. Bingung, kesel, malu." Balasku, masih via DM.

Kutunggu balasan darinya. Menunggu sebuah saran. Atau paling tidak motivasi.

3 menit.....

5 menit.....

10 menit...

Dan tulisannya masih mengetik...

Karena tak sabar, kulanjutkan chat ku.

"Wooyy... Lama banget ngetik. Minus? Aku ada kacamata kuda nih."

Masih tidak ada balasan.

Oke, sambil menunggu, kubuka youtube. Kubuka laman bertuliskan 'Subsicription'. Ku scroll kebawah. Full video bola, mobile legends, dan ceramah-ceramah ustadz-ustadz kondang. Jangan heran, gini-gini aku masih suka dengerin ceramah ya. Cuman hanya ketika imanku lagi yazid. Lagi pasang naik maksudnya.  Kemudian, kubuka laman lain di beranda youtube. Ku scroll kebawah, hingga ada satu video yang membuatku penasaran. Reflek, kubuka video tersebut.

'Profil Calon Wisudawan 30 Juz Mahad Hasan Al Bashri'

Kuputar video tersebut. Kupandangi satu persatu wajah wisudawan tersebut. Hingga ada satu wajah yang tak asing bagiku.

'Anjay, itu kan si Fatih. Uda Hafidz dia'

Seketika, kuucapkan subhanallah berulang kali. Sesuatu yang tak lazim kulakukan. Iya, sekalipun aku santri, jarang sekali aku mengucapkan kalimat thoyyibah ketika menemukan sesuatu yang menajubkan. Bahkan mungkin, yang keluar justru kata-kata kotor atau kasar.

Fatih. Dia teman SMP ku. Teman nakal dulu waktu SMP. Sering bolos sekolah, tukang jailin adek kelas, bahkan pernah mencuri di supermarket. Teman akrab. Akrab banget. Hanya saja, ketika lulus SMP, aku dan Fatih sama-sama mondok. Jadi, kurang tukar kabar. Hingga kemudian lost contact.

Dan sekarang, dia sudah hendak wisuda tahfidz, penanda kalau dia hafal 30 juz. Dalam kurun waktu relatif singkat, 3 tahun.

Kuputar video tersebut sampai habis. Hingga diakhir video, tertulis kapan acara wisuda tersebut berlangsung. 'Ahad, 22 Desember 2019'. Seminggu lagi. Dan masih dalam waktu liburku. Okelah. Bismillah, akan kudatangi acara wisuda. Sekalian ngasih surprise, pada kawan yang lama tak jumpa.

Ahad, 22 Desember 2019

Mahadnya lumayan jauh dari rumahku, kendatipun masih sama-sama di Surabaya. Karena mahadnya berada di Surabaya bagian timur, sementara rumahku Surabaya bagian barat. 1 jam perjalanan jika tak macet. Aku tak tau letak persis mahadnya dimana. Yang kutau hanya kecamatannya saja. Karena itu, kujadikan google maps jadi kawanku diperjalanan. Hingga akhirnya, kutemukan mahadnya.

Abi, Ummi, Ini HafalankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang