Setelah ketua Jalu dan Jem pergi, malamnya kami kedatangan tamu lagi, dia Yanuar.
Duduk seorang diri di kursi bambu ruang tunggu tamu yang persis di depan pintu kamarku, Yanuar meletakkan beberapa bungkusan makanan di atas meja di depannya duduk. Dari aromanya sepertinya itu kue putu bambu, dan lumayan seplastik besar beberapa bungkus mie balap.
Aku bingung mengira-ngira apa gerangan maksud dan tujuan lelaki bermata teduh yang pernah kupuja itu datang, teringat padaku sorotan matanya bisa pula berubah bagai hendak menerkam bila sedang dibakar cemburu.
Kartika sudah tiada, mau apa dia? Beberapa teman sudah mengetuk pintu kamarku, menyuruhku segera keluar.
Namun aku diam saja, aku salah tingkah lebih dari bertemu Jalu. Jujur, rasa malas menyerangku bila harus berinteraksi, apalagi bicara dengannya. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku, pria itu sedang lurus menatapi kamar gelap Kartika. Tatapan itu, sedih?
Kriieettt.
Aku keluar, ia menoleh padaku, melempar senyum.
Temanku yang lain menyapa bergilir hanya sebentar-sebentar menghampiri Yanuar, hanya untuk menyambar sebungkus mie balap yang di bawa lelaki itu. Sedikit basa-basi lalu cuss berkumpul di dapur makan disana bersama yang lain, sembari memasang telinga lebar-lebar. Aku tak heran mengapa mereka mondar-mandir bergantian menghampiri, membawa satu persatu bungkusan mie dan bukan sekalian seplastik.
Aku tahu, seperti halnya yang sering kulakukan juga, kami melakukan itu untuk melihat dan menilai lebih dekat tampang lelaki yang datang. Biasanya tamu Kartika lah yang jadi pengamatan kami.
Sudah jadi kebiasaan masyarakat penghuni kosan Ndoro Sipir, untuk menguping bila kedatangan tamu lelaki. Siapa tau ada yang bebas dari status jomblo, dan biasanya Kartika terus yang kedapatan tamu lelaki.
Masyarakat kontrakan kami memang berisi gadis-gadis yang kurang gairah, yang apatis memandang hidup, bisa dikatakan tak terlalu mengundang perhatian lelaki, tak ada yang mencolok, tak ada yang aktif penggerak atau aktifis kampus. Skripsi yang tak berujung sedikit banyak sudah menggoyahkan harapan kami pada masa depan.
Kecuali Kartika, kami hanyalah berisi mahasiswi yang taunya kos-an dan kampus. Ikut kegiatan organisasi pun hanya sebatas penggembira saja, bagian sorak sorai. Ramai orang bertepuk tangan, kami ikut tepuk tangan. Riuh orang tertawa kami pun terbahak-bahak tanpa perlu tahu sebab musababnya. Gadis-gadis malas mikir, mungkin itulah gambaran buat penghuni kosan Ndoro Sipir ini. Sekali lagi, kecuali Kartika.
Segelas teh panas di suguhkan Moly untuk Yanuar. Ia lalu mundur teratur setelah membawa masuk mie dan sebungkus kue putu bambu. Gayanya yang membungkuk-bungkuk jalan mundur membuat Yanuar tersenyum.
Tak lama, datang pipit dengan sepiring mie dan kue putu yang baru dikeluarkan dari bungkusannya, khusus disuguhkan buat Yanuar. Ia kembali mundur teratur, dengan gaya pelayan sehabis menghadap raja, berjalan mundur jongkok dengan bertumpu pada lututnya.
"Stresss!!" seruku, melotot pada Pipit, yang terkikik-kikik.
Yanuar menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum, lalu diam lagi untuk beberapa saat. Di seruputnya teh hangat.
Aku menunggu Yanuar bicara lebih dulu, dia masih tampak gelisah, hatinya sedang tak tenang.
"Aku tak menyangka, dia terpeleset dan tewas" gumamnya, matanya masih lurus menatap kamar Kartika.
"Sesaat sempat kulihat kau bersamanya di tepi jurang" jawabanku berhasil mengalihkan pandangannya, ia kini menatapku lekat.
"Kau melihat kami bertengkar?" aku mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
#3 : Misteri Hilangnya Primadona
Misterio / SuspensoKartika Primadona Kampus, Hilang seketika tanpa jejak di puncak gunung saat melakukan acara kemahasiswaan.