Prolog

37 1 0
                                    


Ditemani dua koper besar, aku termangu sendiri di negeri orang, telingaku disumbat lagu-lagu indie sedang mulutku sibuk mengunyah roti saat mataku masih berlomba menyelesaikan paragraf demi paragraf novel tulisan John Green

Penerbangan selanjutnya akan datang tiga puluh menit lagi jika tiada hambatan, membawaku pergi jauh ke benua yang berbeda, ketika cinta masih saja tertinggal pada suatu kota dimana aku menemuinya. Kota Pelajar yang dengan segala kebijakan akhirnya ditetapkan sebagai Daerah Istimewa; ruang-ruang tenang yang tak pernah hampa, berisik gamelan di tiap-tiap sudutnya, hingga dipenuhinya taman oleh para pengolah rasa.

Kadang, jarak merupakan masalah terbesar yang tak dapat terobati selain hanya dengan bertemu, menghabiskan waktu, menenun lagu-lagu untuk dinyanyikan ketika kembali pergi jauh.

Setahun yang lalu, aku tak sengaja menemukannya dibalik lembaran kisah lama, sesudah ia menjalani pahit-manis hidup selama 20 tahun. Lebih lama dua puluh empat bulan ketimbang aku yang baru saja merayakan ulang tahun. Ia membuat sekali lagi notifikasi smartphoneku menyala, bertanya mengenai bagaimana kelanjutan pendidikanku setelah lama tak terdengar kabar, tentang jurusan yang aku ambil diluar sana, hingga flyer event annual seni-senian yang ia kirimkan padaku melalui situs online

'Datang ya, Rin!'

Pesan singkat itu menemani datangnya poster pertunjukan yang akan diadakan pada penghujung minggu nanti.

'Semoga punya cukup waktu ya, Mas'

'Harus datang! Aku tunggu ya!'

Tak kuberi balasan untuk pesan yang terakhir ia kirimkan

'Aku tunggu kedatanganmu, Rin.'

Namanya kembali muncul dalam kolom notifikasi paling atas,

'Oh, iya Mas, aku akan datang bersama temanku, sepertinya bakal sepi kalau aku harus menonton pertunjukan seorang diri'

Tak sampai layar smartphoneku redup, kembali aku terima pesan darinya

'Apa yang kau khawatirkan, Rin? Apapun yang kau mau lakukanlah, termasuk jika aku harus menemanimu.'

Harus bagaimana kukatakan kalau aku kurang suka dengan laki-laki yang terlalu banyak gombal. Kudiamkan saja pesan itu hilang bersama dengan gelapnya layar smartphone. Lalu aku berjanji pada Mas Dion untuk datang pada pementasan yang akan menampilkan karyanya tiga hari lagi.

*****

Akan kuperkenalkan padamu, lewat cerita-cerita singkat, termasuk jika kami pernah disatukan dalam satu misi sekolah yang sama walau akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan visi awal perjalanan.

Tepat saat aku masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas, di warung sederhana tempat murid-murid sekolah kami biasa mengganjal perut, petang itu, setelah aku mendapat perintah dari senior untuk ikut serta dalam latihan teater yang akan dipertontonkan bulan september nanti, di meja dekat pintu masuk kami bertemu. Aku sebagai murid baru dan lelaki dengan karisma yang menurutku dapat dibandingkan dengan laki-laki dewasa itu memperkenalkan diri sebagai murid yang sebentar lagi akan menjalani ujian nasional. Kami sempat bertukar akun sosial media hingga nomor telepon meski aku tak begitu menghiraukan. 

Setelah perkenalan singkat itulah pesan-pesan kami pun pernah berbalas walau membosankan, sampai tiba akhirnya kami jarang sekali bercakap, tak pernah lebih dari sekedar sapaan penuh basa-basi, sewajarnya adik kelas mengucap permisi dan hanya dibalas anggukan. 

Meski sebenarnya Mas Dion acapkali mencuri pandanganku, bukan karena ia memang betul-betul tampan, namun seperti ada saja yang menarik dari gerak tubuhnya atau tatapan matanya yang dalam. Hanya saja aku paham, bahwa keterpikatanku saat itu hanya datang seperti perhatian yang mudah sekali hilang, yang biasa disalahartikan menjadi cinta pada pandangan pertama. 

Sampai pada saat aku memutuskan untuk menutup hatiku, membiarkan diriku dimiliki oleh lelaki yang lain.

Hari-hari berlalu, menjadikanku gadis kelas dua sekolah menengah atas. Mas Dion yang telah lulus tiba-tiba saja datang dan duduk dihadapanku ketika rapat besar produksi pementasan berlangsung. Bersama teman-teman sesama alumni, mereka datang seperti ingin meruntuhkan segala yang telah ada.

Siswa angkatanku berencana mengadakan sebuah pementasan di luar lingkungan sekolah dua bulan lagi, segala prosedur keproduksian kami telah berproses dengan baik. Mulai dari gedung pertunjukan terbesar di kota yang telah lunas terbayarkan, hingga tiket, sponsor, bahkan perizinan kepolisian. 

Saat beberapa orang berargumen denganku, ia sibuk dengan laptop dipangkuannya yang menyala terang, entah apa yang sedang ia kerjakan. Beberapa kali Mas Dion melihat kearahku, membenarkan apa yang salah dan menyalahkan apa yang tak seratus persen benar.

Tiada seorangpun yang membelaku,

"Dia nggak salah, emang nggak bisa, dia sudah tanda tangan kontrak atas segala kontraprestasinya."

Tiba-tiba saja Mas Dion berdiri di pihakku.

Tapi malam itu juga aku memutuskan untuk membencinya, bukan tanpa alasan. Sempat pada kala itu, kepalaku penuh dengan tanya, apa benar ia datang memang untuk mendapat umpatan meski hanya kami taruh dalam hati? Apa ia hanya datang untuk menilai buruk segala yang telah kukerjakan dengan memakan banyak waktu? Ia dan teman-temannya yang lebih tua dariku itu tak tau, bagaimana segalanya berjalan dengan baik sebelum mereka hadir.

Rapat akhirnya terlalui dengan penuh kekesalan dalam tubuhku, bersama teman-teman, aku tumpahkan segala sumpah serapah terhadap semua senior, tak terkecuali Mas Dion.

Dan dua bulan kemudian, sehabis pementasan berlangsung, setelah kepergianku dari sekolah, sampai kehancuran hati sebab baru saja menyudahi hubunganku dengan lelaki yang selama dua tahun terakhir mendapatkan seluruh cinta dan diriku penuh, ternyata lebih dari sekedar brengsek; Dengan tanpa alasan, seringkali dihabisinya tubuhku dengan kekacauan tangannya yang tak segan menampar hingga mencekik, atau bahkan bibirnya yang juga menciumku itu mengataiku lonte.

Jadi, tertulis dalam kitab suci bahwa Tuhan memberikan musibah sakit, rasa sedih dan kecewa dengan kehendakNya, semata-mata untuk membersihkan dosa.
Terbukti sudah, dalam cinta harus ada rasa nyeri-nya.

Kurang dari satu tahun aku bersembunyi dibalik kesakitan hati, beberapa lelaki datang dan pergi, juga tak pernah lagi kulihat batang hidung Mas Dion. Jangankan soal kabar, aku bahkan kadang tak dapat mengingatnya lagi sebagai seniorku kalau bukan lewat wajahnya yang beberapa kali menghiasi dinding sosial media.

Lib - BRACHIUMWhere stories live. Discover now